Minggu, 08 Januari 2012

Kekuatan Spiritualitas Bagi Dunia Bisnis Sebagai “Extension of the Hand God” (Bagian IV)

(Akar Masalah: Keserakahan Pudarkan Keseimbangan Alam)

Salah satu permasalahan etika dalam bisnis yang merebak yaitu berita yang mempertanyakan apakah etika dan bisnis berasal dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas panas di Kabupaten Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas. Kedua, obat antinyamuk HIT yang diketahui memakai bahan pestisida berbahaya yang dilarang penggunaannya sejak tahun 2004 karena kandungannya bisa menyebabkan kanker. Atas kasus-kasus itu, kedua perusahaan terkesan melarikan diri dari tanggung jawab. Sebelumnya, kita semua juga dikejutkan dengan pemakaian formalin pada pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta pembuatan terasi dengan bahan yang sudah berbelatung.

Tidak pula dapat dipungkiri bahwa skandal manipulasi laporan keuangan yang mengguncang perusahaan-perusahaan raksasa. Sebut saja Kasus Enron sebagai perusahaan Amerika terbesar ke delapan ketika itu. Enron adalah perusahaan yang sangat bagus dan pada saat itu perusahaan dapat menikmati booming industri energi dan saat itulah Enron sukses memasok energi ke pangsa pasar yang bergitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Pada akhirnya Enron meninggalkan prestasi dan reputasi baiknya tersebut, karena melakukan penipuan dan penyesatan dan kemudian kolaps pada tahun 2001. Ini disebabkan karena adanya unsur kebohongan yang dilakukan pada sebuah sistem terbuka, terjadi pelanggaran terhadap kode etik berbagai profesi seperti akuntan, pengacara dan lain sebagainya, dimana segelintir profesional tersebut serakah dengan memanfaatkan ketidaktahuan dan keawaman banyak orang, serta praktek persekongkolan tingkat tinggi. Ini tentu menunjukkan bahwa manusia sebagai pelaku sudah tidak lagi berada dalam koridor akhlak serta moralitas sebagai kehendak Tuhan sehingga hidup berdasarkan “takut akan tuhan” mulai memudar sejalan dengan masa modernisme yang kian menjulang.

Ini menunjukkan bahwa berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri (egoisme). Kasus illegal logging, illegal fishing, eksploitasi pasir, Kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia, PT Inti Indorayon Utama, PT Newmont, kasus lumpur Lapindo hingga kasus-kasus korupsi birokrasi dan kasus lingkungan yang terkait dengan liberalisasi perdagangan global, semuanya berkaitan dengan masalah etika. Masalah moral dan perilaku manusia. Terutama berkaitan dengan kerakusan dan kelicikan manusia, perusahaan (korporasi) maupun negara dalam mengeksploitasi alam.

Wajar bila ada kesimpulan, dalam bisnis, satu-satunya etika yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada pemegang saham. Bercermin dari kasus-kasus yang disebutkan sebelumnya, menunjukkan bagaimana “perusahaan bersedia melakukan apa saja demi laba.” Harus diakui, kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan keuntungan maksimal bagi shareholders. Fokus itu membuat perusahaan yang berpikiran pendek dengan segala cara berupaya melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan keuntungan. Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang kian rewel sering menjadi faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam berbisnis.

Disini penulis kutibkan beberapa ungkapan dalam Kitab dalam kaitan dengan spiritual. Dalam Al-Kitab dikatakan:

Bangsa yang tidak mendapat bimbingan dari Tuhan menjadi bangsa yang penuh kekacauan...” (Injil, Amsal 29:18). Dan “orang yang mengandalkan Tuhan... akan terbang tinggi seperti burung rajawali” (Injil, Yesaya 40:31). Kemudian dalam kitab Ulangan dikatakan, “Ingat bahwa Tuhan Allahmulah yang memberi kekayaan itu kepadamu...” (Injil, Ulangan 8:18).

Keraf (2002) mengatakan bahwa krisis lingkungan global bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme yang memandang manusia sebagai alam semesta. Manusia, dalam pandangan etika yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf Barat modern, dianggap berada di luar dan terpisah dengan alam. Alam sekedar alat pemuas manusia. Cara pandang seperti ini melahirkan sikap dan perilaku kapitalistik yang eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam. Oleh karena itu krisis lingkungan dewasa ini, menurut Naess (1993) hanya dapat diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam. Oleh karena itu untuk merubah cara pandang tersebut maka sistem bisnis yang spiritual menjadi langkah harapan baru yang mengembalikan manusia pada fitrahnya berlandaskan kebaikan, kesabaran, kebenaran, dan keadilan dalam geraknya sehingga membuat dunia sebagai tempat yang lebih nyaman yang hendaknya bisa dimulai dari membangun keadilan sosial dan mengatasi masalah disekitar perusahaan seperti kemiskinan, penindasan, pemanasan global, pengangguran dan polusi yang asalnya adalah sifat yang hanya mementingkan diri sendiri”.

Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. (Alkitab, Yakobus 3:16)

Mereka inilah noda dalam perjamuan kasihmu, di mana mereka tidak malu-malu melahap dan hanya mementingkan dirinya sendiri; mereka bagaikan awan yang tak berair, yang berlalu ditiup angin; mereka bagaikan pohon-pohon yang dalam musim gugur tidak menghasilkan buah, pohon-pohon yang terbantun dengan akar-akarnya dan yang mati sama sekali. (Alkitab, Yudas 1:12)



1 komentar :

fariquatajima mengatakan...

How to gamble online | DrmCD
How to gamble online in NJ · Visit the nearest casino near me 광주광역 출장샵 · Open an Account · 남원 출장안마 Receive 김천 출장마사지 Your First Deposit 안성 출장마사지 Bonus · 춘천 출장안마 Claim Your Bonus Cash · Get a

Posting Komentar