Sabtu, 27 Maret 2010

REFLEKSI ATAS PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DALAM PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH: a Theoretical Study of the Bible

REFLEKSI ATAS PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DALAM PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH: a Theoretical Study of the Bible

Oleh :
Aprianto La’lang. Kuddy

Program Magister Sains Akuntansi
Universitas Brawijaya, Malang

------------------------------------------------

Sebagai upaya kontribusi terhadap pengembangan literature akuntansi sektor publik terutama pengembangan sistem pengandalian manajemen pada akuntansi sektor pubik, maka melalui pendekatan nilai-nilai spiritualitas kristen, saya dalam makalah berikut akan mendeskripsikan tentang pentingnya penerapan good governance dengan mengadepankan prinsip-prinsip akuntabilitas, partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan publik serta peran gaya kepemimpinan yang hendaknya menjadi lilin-lilin kecil di tengah belantara gelapnya manajemen keuangan rakyat yang berimplikasi terhadap pelayanan publik yang buruk, kebocoran anggaran, membudayanya korupsi, kolusi dan nepotisme yang hendaknya menjadi penerang bagi kesejahteraan rakyat menuju era terang benderang.
Mengingat pemerintah sebagai perpanjangan tangan Tuhan di dunia yang dipercayakan sebagai wakil Allah dalam menunjukkan keberadaan atas kehendak Allah untuk mensejahterakan seluruh umat Allah di bumi yang hendaknya tercermin dalam pengelolaan keuangan rakyat yang baik dan berpihak pada kepentingan publik serta tuntutan agenda reformasi untuk melaksanakan tata kepemerintahan yang baik dengan mengedepankan penerapan prinsip Akuntabilitas, Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik sebagai landasan awal di setiap lingkungan pemerintah daerah secara merata dan menyeluruh, serta peran gaya kepemimpinan dari para pimpinan instansi publik, baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif sebagai pemegang wewenang dan otorisasi tertinggi terhadap setiap human atau jajaran anggota di lingkungan instansinya masing-masing sebagai prinsip-prinsip yang secara mendasar lahir dari Allah sendiri, yang bukannya dimaksudkan untuk membatasi pergerakan birokrasi, melainkan sebagai manfaat yang hendaknya akan memberikan “terang di dunia”.

Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku
Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau
Ia membimbing aku ke air yang tenang
Ia menyegarkan jiwaku
Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya
Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman

Good Governance adalah “angin segar” serta “harapan baru” yang tidak terlepas dari amanat untuk pelaksanaan pemerintahan yang baik. Good governance adalah sebagai; “the way state power is used in managing economic and social resources for development of society” (World Bank) yakni sebagi cara yang diyakini baik untuk mengelola urusan-urusan publik. Di sisi lain Good Governance adalah “perpanjangan tangan Tuhan di dunia” yaitu sebagai amanat terhadap wakil Allah (pemerintah) di dunia untuk mewujudkan kehendak, maksud dan tujuan Allah di dunia, sebagaimana tertera di dalam injil bahwa tidak ada pemerintahan yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah (Injil, Roma 13:1). Allah adalah terang dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan (Injil, 1 Yohanes 1:5b). Sama halnya good governance sebagai penerang bagi rakyat menuju era terang benderang dengan mengadepankan prinsip-prinsip akuntabilitas, partisipasi masyarakat, dan transparansi kebijakan publik yang hendaknya menjadi lilin-lilin kecil di tengah belantara gelapnya manajemen keuangan rakyat yang berimplikasi terhadap pelayanan publik yang buruk, kebocoran anggaran, membudayanya korupsi, kolusi dan nepotisme.

Selama ini birokrasi dianggap sebagai penyebab inefisiensi dan penghambat pembangunan. Keadaan tersebut dapat dipandang sebagai kegagalan birokrasi itu sendiri, karena tujuan dari birokrasi pada awalnya adalah untuk menciptakan efisiensi organisasi dan memfasilitasi pembangunan, sehingga dari bentuk anggapan atas kegagalan birokrasi tersebut menghasilkan kemerosotan kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi pemerintahan sehingga dalam era Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah, baik eksekutif maupun legislatif dalam hal ini dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan efisiensi dan profesionalisme birokrasinya. Banyak pemimpin birokrasi yang lalai karena merasa kekuasaan hak mutlak bagi dirinya untuk melakukan apa saja yang dihendaki. Tak mengherankan bila mereka begitu gencar dengan berbagai cara tuk menangkapnya dan memegangnya dengan sekuat tenaga. Terkadang dengan cara tak terpuji meski gelombang protes begitu deras bergema, mereka seakan tak perduli baginya untuk merebut kekuasaan jauh lebih berharga ketimbang mendengar ribuan keluhan banyak orang. Tipuan, manipulasi data, politik, hasutan, provokasi, menjatuhkan lawan, kolusi, menebar janji palsu, mengklaim diri paling berjasa, adalah upaya diri tuk mencapai apa tujuan yang diinginkannya. Seakan tanpa malu, mereka tertawa lepas ketika mahkota kekuasaan berada di genggamannya.

Di mana ada kebenaran di situ akan tumbuh damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya (Alkitab, Yesaya 32:17). Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu (Alkitab, Yeremia 29:7). Begitu juga dalam Mazmur pasal 122 ayat 7 berkata, “Biarlah kesejahteraan ada di lingkungan tembokmu, dan sentosa di dalam purimu!" Amanat Tuhan di dunia bagi seluruh insan manusia untuk melaksanakan kehendaknya berdasarkan kebenaran, begitu juga hendaknya kebenaran tersebut menjadi dasar di dalam pelaksanaan pemerintahan, secara khusus dalam pengelolaan keuangan rakyat dalam rangka pencapaian kesejahteraan seluruh umat manusia di dunia (rakyat). Komitmen pemerintahan yang baru, untuk mengelola pemerintahan yang bersih dan berpihak pada kepentingan publik serta tuntutan agenda reformasi untuk melaksanakan tata kepemerintahan yang baik dengan mengedepankan penerapan prinsip Akuntabilitas, Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik sebagai landasan awal di setiap lingkungan pemerintah daerah secara merata dan menyeluruh, serta peran gaya kepemimpinan dari para pimpinan instansi publik, baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif sebagai pemegang wewenang dan otorisasi tertinggi terhadap setiap human atau jajaran anggota di lingkungan instansinya masing-masing, yang diharapkan mampu menjadi peran penting dalam rangka pengawasan keuangan daerah menjadi suatu permasalahan yang menarik untuk dikaji kembali di lingkungan Pemerintah Daerah.

Good Governance dalam metafora “cahaya” sebagai “buah-buah roh”
“Habis gelap terbitlah terang” (R.A Kartini). Begitupun dalam Alkitab, “di dalam gelap terbit terang bagi orang benar (Mazmur 112:4)”. Adapun Tuhan bersabda; “Supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia”, (Alkitab, Filipi 2:15). Kemudian dalam Matius 5:16: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." Didalam hidup manusia selalu ada pergantian waktu. Sama seperti bumi yang berputar terhadap matahari, good governance hadir sebagai cahaya baru di tengah belantara gelapnya manajemen keuangan rakyat. Governance adalah sebuah kata benda yang sangat diminati dan menjadi pusat perhatian para pembuat kebijakan di institusi privat maupun publik dan para akademisi. Sudah banyak kajian yang dilakukan para ahli kebijakan publik, ahli manajemen, ahli hukum, badan pengatur atau komisi-komisi bentukan Negara atau lembaga-lembaga internasional untuk mendefenisikan kata benda yang bernama Governance. Tidak begitu jelas awal pemakaian kata governance dalam sektor privat atau sektor publik, namun menurut catatan ensiklopedia Wikipedia, Richard Eells pada tahun 1960 menggunakan kata Coorporate Governance untuk pertama sekali.

Tata kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan suatu konsep yang dipergunakan secara regular dalam ilmu politik dan administrasi publik. Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia, dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Pada akhir dasa warsa yang lalu, konsep good governance ini lebih dekat dipergunakan dalam reformasi sektor publik. Paradigma baru ini menekankan pada peranan manajer publik agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong meningkatkan otonomi manajerial terutama mengurangi campur tangan control yang dilakukan oleh pemerintah pusat, transparansi, akuntabilitas publik, dan menciptakan pengelolaan manajerial yang bersih bebas dari korupsi (Thoha, 2004:78 dalam jagat, 2006)

United Nations Development Programme (UNDP) merumuskan istilah governance sebagai exercise dari kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk menata, mengatur dan mengelola masalah-masalah sosialnya (UNDP, 1997). Istilah Governance semakin menjadi pembahasan karena banyak skandal-skandal korporasi dan skandal-skandal publik terjadi dan berdampak pada penurunan kondisi perekonomian. Skandal-skandal publik mencakup kejadian-kejadian korupsi, kolusi dan nepotisme yang menyebabkan kerugian Negara, perlambatan proses pembangunan, terjadinya bencana alam dan peningkatan angka kemiskinan. Kesadaran terhadap Governance seolah-olah menyingkap kebobrokan yang selama ini tertutupi karena kekuasaan digunakan tidak mempertimbangkan kepentingan pihak-pihak lain. Sebelumnya, Kekuasaan dianggap sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri dan pihaknya dan seolah-olah mengganggap Negara adalah pemimpinnya. Pelaksanaan governance secara konsisten dan berkesinambungan diharapkan semakin meningkatkan keperdulian terhadap kepentingan para pemangku kepentingan dan di sisi lain akan menurunkan kecenderungan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh pihak-pihak yang memiliki wewenang.

Good Governance adalah cahaya dalam pengelolaan keuangan rakyat. Cahaya berfilsafat dengan keberadaannnya yang terang-benderang. Menjadi lambang kesadaran, cahaya berjalan lurus menyibakkan kegelapan. Di lautan malam yang dalam, cahaya menembus kelam menjelma bintang-bintang. Di langit, cahaya yang diwakili oleh matahari, bintang terdekat dengan bumi, mengirimkan terang ke bumi, membuat kita bisa memandang jutaan benda yang berwarna-warni. Karena eksistensinya, bisa disaksikan keluasan alam semesta yang beraneka ragam dengan panoramanya yang elok permai, kita temukan benda-benda yang besar dan kecil, yang keras dan lunak, yang kusam dan cerah, juga yang penuh warna, memberikan pemahaman akan baik dan buruk, taat dan ingkar, setia dan khianat, berkata benar dan dusta, adil dan sewenang-wenang, jujur dan curang, ikhlas dan culas. Bersama cahaya, bisa kita pilih kebaikan, ketaatan, kesetiaan, kebenaran, keadilan, kejujuran, ketulusan hati. Dalam limpahan cahaya, kita semai niat yang tulus dan hati yang kudus, kita tempuh jalan yang lurus, seraya kita sibakkan tirai kegelapan, kita suntingkan terang di hati terang di bumi bersama nuansa damai ceria, cinta suci mulya dan keindahan warna-warni.
Allah melihat bahwa terang itu baik, lalu dipisahkan-Nyalah terang itu dari gelap (Alkitab, Kejadian 1:4). Terang cahaya yang dimaksudkan oleh penulis adalah cahaya sebagai cara hidup yang benar, cara hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan untuk mensejahterakan rakyat. Tuhan berkehendak bagi seluruh manusia untuk hidup berdasarkan “roh” (Alkitab, Galatia 5:16), yang didasarkan kepada “buah-buah roh” yaitu di antaranya; kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Alkitab, Galatia 5:22-23). Dengan kasih dan sukacita, pemerintah sebagai wakil Tuhan di bumi melibatkan partisipasi masyarakat dalam upaya pengawasan keuangan daerah melalui Dewan (legislatif) sebagai wakil rakyat untuk pencapaian damai sejahtera bagi seluruh rakyat sebagai wujud demokrasi. Melalui kesabaran, kemurahan, kebaikan dan kesetiaan kepada rakyat, maka akuntabilitas (pertanggungjawaban) dan transparansi kebijakan publik pun akan tercipta yang didasarkan kepada penguasaan diri dalam rangka pelaksanaan pengawasan keuangan daerah demi pencapaian pemerintahan yang bersih.

Gaya Kepemimpinan: Tentara Lebah dalam Pengawasan Keuangan Daerah.
Rasul Paulus pernah menasihati Timotius yang masih muda calon pemimpin di Gereja Kristen mula mula dalam 1 Timotius 4:12: "Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu. Keteladanan merupakan aspek yang paling krusial dalam Kepemimpinan Rohani. Dalam Alkitab, Matius 20:26-28, "Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar diantara kamu, hendaklah ia menjadi pelayan. Dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka diantara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu. Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang." Adapun filosofi kepemimpinan Musa dinilai dalam Bilangan 12:3. Musa adalah Meek or Humble yaiu merupakan seorang yang lemah lembut hatinya lebih dari setiap orang yang ada di atas muka bumi, sabar, rendah hati, jujur, sederhana dan tegas." Keberhasilan Musa menjalankan kepemimpinan yang Rohani bagi bangsa Israel lewat Meek dan Humble membuat Musa sanggup menghadapi tantangan, rintangan dalam kepemimpinannya, yaitu; (1) Menghadapi Firaun ketika akan keluar dari Mesir (2) Memimpin kurang lebih 600 ribu orang Israel melewati Padang Gurun 40 tahun (3) Menghadapi Keluarganya sendiri kakak beradiknya Harun dan Mariam.

Pelayanan publik yang buruk, kebocoran anggaran, membudayanya korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan bukti kacaunya sistem manajemen keuangan publik, dan akibat dari kacaunya sistem manajemen anggaran keuangan publik tersebut tidak lepas dari peran serta human atau anggota atau jajaran pemerintah itu sendiri yang bekaitan secara langsung dengan pengelolaan keuangan di daerah, sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang yang diberikan oleh publik. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi orang lain seperti yang ia lihat (Thoha, 1993). Kebanyakan orang menganggap gaya kepemimpinan merupakan tipe kepemimpinan. Hal ini antara lain dinyatakan oleh Siagian (2003) bahwa gaya kepemimpinan seseorang adalah identik dengan tipe kepemimpinan orang yang bersangkutan.
Wahjosumidjo (1994) mengatakan bahwa perilaku pemimpin dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah sesuai dengan gaya kepemimpinan seseorang. Gaya tersebut adalah sebagai berikut:
1)Gaya kepemimpinan Direktif adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan cara segala kegiatan yang akan dilakukan diputuskan oleh pimpinan semata-mata.
2)Gaya kepemimpinan Konsultatif adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan oleh pemimpin setelah mendengarkan masukan/saran dari bawahan.
3)Gaya kepemimpinan Partisipatif adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan ditentukan bersama antara pimpinan dan bawahan.
4)Gaya kepemimpinan Delegatif adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan lebih banyak diserahkan kepada bawahan.

Pimpinan adalah panutan. Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pemimpin instansi dengan memanfaatkan otorisasi tertinggi terhadap pengelolaan keuangan daerah untuk melakukan kolusi yang berimplikasi pada kebocoran anggaran, korupsi, kolusi dan nepotisme menyebabkan kacaunya sistem manajemen keuangan daerah.

Alkitab menunjukkan bahwa di dunia ini ada 3 macam kepemimpinan, yaitu:
Yang pertama, mereka mengambil keuntungan dari jabatannya, pemimpin semacam ini menggunakan orang lain untuk kepetingannya sendiri ( Yehezkiel 34 : 1 – 40 )
Yang kedua, mereka ingin mencapai tujuan organisasi yang ditetapkan bersama, dengan melalui orang lain ( Lukas : 1 – 6 )
Yang Ketiga , mereka yang selalu ingin bekerja untuk orang lain.

Kepemimpinan kristiani merupakan gabungan dari bentuk kedua dan ketiga yaitu mencapai tujuan organisasi dan ingin bekerja untuk orang lain atau melayani orang lain. Dalam proses mencapai organisasi, kepemimpinan kristiani berhubungan dengan pertanggungjawaban atas tugas yang diemban dan atas orang yang dipimpinnya yang artinya juga harus ada kewajiban moral bagi seorang pemimpin.

Pemimpin kristiani merupakan pilihan Tuhan sendiri, jadi jika ia telah terpilih dan bersedia menerima tugas atau pertanggungjawaban maka orang tersebut harus merasa mengakui bahwa Tuhan adalah atasan / pemimpin. Dia harus mematuhi dan memenuhi janji yang telah diucapkan dengan setia dan harus melakukannya dengan sepenuh hati agar tidak mengalami kegagalan. Seseorang yang menerima tugas kepadanya akan diberikan hak istimewa tapi bukan gratisan, hak istimewa tersebut adalah kekuatan dan kekuasaan.

Hendaklah peran gaya kepemimpinan di dasarkan kepada kebiasaan atau perilaku lebah yang menarik dan patut menjadi teladan bagi setiap insan pemimpin instansi baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif dalam hal karaketeristik kepemimpinan, beberapa diantaranya adalah:
Fakta 1:
Lebah selalu menghisap sari tumbuhan
Lebah hanya menghisap sari pati bunga dari tumbuhan yang dihinggapinya. Bunga yang dihisappun juga biasanya tidak sembarang bunga, tapi cenderung bunga yang memberikan warna menarik dan segar. Belum pernah kita jumpai ada lebah salah makan selain sari pati bunga tumbuhan. Sebagai pemimpin, perilaku lebah bisa dijadikan sebagai teladan bahwa pemimpin instansi tidak pernah sekalipun memakan dari sesuatu yang tidak baik, tidak halal, dan hasil dari sebuah proses yang tidak jujur (tindakan korupsi). Karena hal tersebut tidak akan mendatangkan berkah bagi insan sebagai pemimpin.


Fakta 2:
Lebah bisa membantu proses pembuahan
Dalam sebuah proses pembuahan dari bunga agar bisa menjadi buah dan dapat kita makan, peran lebah adalah sangat vital. Karena berkat binatang ini pembuahan bisa terjadi, sehingga buahnya bisa kita makan bersama sehingga seorang pemimpin dimanapun ia berada, hendaknya harus mampu memberikan kontribusi positif bagi seluruh jajaran dalam instansinya terutama yang berkaitan dengan pengelola keuangan rakyat.

Fakta 3:
Lebah dimanapun berada tidak merusak bunga yang dihisapnya maupun tangkainya.
Lebah sangat fleksibel terhadap bunga yang dihisapnya. Binatang ini tahu persis berapapun kecilnya bunga yang dihinggapinya tidak akan menyebabkan tangkai bunga tersebut patah ataupun bunganya rusak.Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa menyesuaikan dimana dia tinggal dan lingkungan seperti apa yang dia hadapi dengan segala karakteristik budaya, adat istiadat, karakteristik pribadi, liingkungan dan alam sekitarnya. Sehingga dimanapun dia berada tidak akan menimbulkan resistensi dan bahkan bisa memberikan pengayoman bagi anggota yang dipimpinnya.

Fakta 4:
Lebah menghasilkan madu yang banyak manfaatnya.
Hanya madu yang dihasilkan oleh lebah, bukan yang lainnya. Dan semua tahu betapa berkasiatnya madu tersebut. Disamping benilai jual tinggi, madu bisa dijadikan obat berbagai macam penyakit. Begitupun seorang pemimpin juga harus bisa menjadi penyejuk bagi rakyat tempat warga/rakyat/bawahannya berkeluh kesah, dan bisa memberikan solusi terhadap setiap permasalahan warga, minimal bisa peka dan berempati terhadap permasalahan tersebut. Setiap ucapan yang keluar dari mulutnya, kebijakan yang dikeluarkan dan perilakunya selalu bernilai tinggi. Nilai dari sebuah kejujuran, kearifan dan sikap mengayomi rakyat/warga/bawahannya.

Fakta 5
Lebah tidak pernah mengganggu orang tetapi berani melawan jika diganggu.
Perilaku lebah senantiasa berkelompok dalam komunitasnya, tenang dan tidak pernah mengganggu orang atau binatang lainnya. Tapi jika keberadaannya diganggu misalnya sarang lebah tersebut diambil, terlihat begitu beraninya lebah-lebah tersebut mempertahankan dan melawan siapapun dan apapun yang mengganggu. Seorang pemimpin juga harusnya demikian, tidak pernah menggangu kehidupan atau komunitas diluar apa yang dipimpinnya. Namun jika keberadaannya serta warga/rakyat/bawahannya diganggu, atau mendapat ancaman dari pihak luar, maka pemimpin tersebut harus dengan tegas dan berani menghadapinya apapun dan siapapun yang mengancam. Artinya pemimpin harus berada pada sikap tidak terpengaruh terhadap intervensi dari pihak manapun untuk melakukan tindakan yang mengancam rapuhnya sistem manajemen keuangan dalam instansinya.

Gaya kepemimpinan yang baik pasti akan mendapatkan hasil pekerjaan lebih banyak dari bawahannya dengan sikap sebagai pemimpin yang baik. Untuk mengetahui gaya kepemimpinan yang sesuai, mereka tidak hanya melihat posisinya sebagai pemimpin yang menghendaki segalanya telah dilakukan, tetapi mereka harus pula bekerja dalam struktur yang ada secara efektif dan jujur.
Diharapkan melalui gaya kepemimpinan yang baik dari para pimpinan istansi pemerintahan di daerah, dapat mampu mempengaruhi para anggota bahkan seluruh jajaran wakil publik (pemerintah) terutama yang terkait dengan pengelolaan dan pengawasan keuangan daerah dalam rangka meningkatkan citra, kerja dan kinerja instansi pemerintah menuju kearah professionalisme dan menunjang terciptanya pemerintahan yang baik (good governance), sehingga perlu adanya penyatuan arah dan pandangan bagi segenap jajaran pegawai Pemerintah, baik dari jajaran pemerintah eksekutif maupun legislatif yang dapat dipergunakan sebagai pedoman atau acuan dalam melaksanakan tugas baik manajerial maupun operasional diseluruh bidang tugas dan unit organisasi Instansi Pemerintah secara terpadu dalam rangka melakukan pengawasan bersama atas keuangan daerah yang dikelola.

Akuntabilitas: “Mandate to be Responsible”
Fenomena yang terjadi dalam perkembangan sektor publik di Indonesia dewasa ini adalah menguatnya tuntutan akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik, baik di pusat maupun daerah. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik (Stanbury, 2003). Pada dasarnya, akuntabilitas adalah pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja finansial kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus dapat menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik yaitu hak untuk tahu, hak untuk diberi informasi, dan hak untuk didengar aspirasinya.
Akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut (Mardiasmo, 2002: 20). Dalam organisasi sektor publik, khususnya pemerintah daerah, hubungan agensi muncul antara pemerintah daerah sebagai agen dan DPRD sebagai principal dan publik/warga berlaku sebagai prinsipal yang memberikan otoritas kepada DPRD (agen) untuk mengawasi kinerja pemerintah daerah. Akuntabilitas menjadi suatu konsekuensi logis adanya hubungan antara agen dan prinsipal.

“Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberikan pertanggunganjawaban tentang dirinya kepada Allah” (Alkitab, Roma 14:12). “Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat” (Alkitab, 1 Petrus 3:15). Kemudian Markus pasal 13 ayat 34 menjelaskan bahwa sesuatu yang dititipkan adalah sesuatu yang penjagaannya dipercayakan kepada orang yang dititipi (seorang hamba) hingga suatu saat sesuatu itu akan diambil oleh yang menitipkan (pemilik rumah). Maksud menitipkan adalah agar sesuatu yang dititipkan itu tetap terjaga dan terlindungi keberadaannya. Tanggung jawab memelihara sesuatu yang dititipkan itulah yang disebut amanah. Pejabat publik adalah pemegang amanah tanggung jawab. Otoritas yang dipegangnya bukan pada aspek kekuasaan, tetapi pada aspek pengelolaan dan pelayanan, sehingga seorang pemimpin disebut sebagai pelayan masyarakat. Keputusan yang diambil oleh seorang pejabat publik berpeluang untuk menimbulkan implikasi yang luas kepada kehidupan masyarakat luas.
Dewan sebagai anggota legislatif perlu mengerti dan memahami pedoman akuntabilitas instansi pemerintah agar dapat menjalankan fungsinya dalam mengawasi tahapan penyusunan hingga laporan pertanggungjawaban keuangan daerah (APBD). Kegagalan dalam menerapkan standar operasional prosedur akuntabilitas mengakibatkan pemborosan waktu, pemborosan sumber dana dan sumber-sumber daya yang lain, penyimpangan kewenangan, dan menurunnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga pemerintahan.

Refleksi Partisipasi Masyarakat dalam Formasi huruf “V”
Adanya perubahan paradigma anggaran di era reformasi menuntut adanya partisipasi masyarakat (publik) dalam keseluruhan siklus anggaran. Untuk menciptakan akuntabilitas kepada publik diperlukan partsipasi kepala instansi dan warga masyarakat dalam penyusunan dan pengawasan anggaran (Rubin, 1996). Achmadi (2002) menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan kunci sukses dari pelaksanaan otonomi daerah karena dalam partisipasi menyangkut aspek pengawasan dan aspirasi. Pengawasan yang dimaksud di sini termasuk pengawasan terhadap pihak eksekutif melalui pihak legislatif.

Hendaknya dalam penyusunan APBD didasarkan pada metafora “angsa”. Sebagaiamana di negara 4 (empat) Musim, maka pada musim gugur akan terlihat rombongan angsa terbang kearah Selatan untuk menghindari Musim Dingin. Angsa-angsa tersebut terbang dengan formasi berbentuk huruf "V". Beberapa fakta ilmiah tentang mengapa rombongan angsa tersebut terbang dengan formasi "V" adalah sebagai berikut:


Fakta 1:
Saat setiap burung mengepakkan sayapnya, hal itu memberikan "Daya Dukung" bagi burung yang terbang tepat dibelakangnya. Ini terjadi karena burung yang terbang dibelakang tidak perlu bersusah-payah untuk menembus 'dinding udara' di depannya. Dengan terbang dalam formasi "V", seluruh kawanan dapat menempuh jarak terbang 71% lebih jauh daripada kalau setiap burung terbang sendirian. Artinya, antara pemerintah (eksekutif), dewan (legislatif) dan rakyat secara mendasar bergerak dalam arah dan tujuan yang sama serta hendaknya saling membagi dalam komunitas (negara) sehingga dapat mencapai tujuan bersama dengan lebih cepat dan lebih mudah. Ini terjadi karena ketiganya menjalaninya dengan saling mendorong dan mendukung satu dengan yang lain.

Fakta 2:
Kalau seekor angsa terbang keluar dari formasi rombongan, ia akan merasa berat dan sulit untuk terbang sendirian. Dengan cepat ia akan kembali kedalam formasi untuk mengambil keuntungan dari daya dukung yang diberikan burung di depannya. Artinya bahwa, jika manusia memiliki cukup logika umum seperti seekor angsa, manusia akan tinggal dalam formasi dengan mereka yang berjalan di depan. Kita akan mau menerima bantuan dan memberikan bantuan kepada yang lainnya. Karena lebih sulit untuk melakukan sesuatu seorang diri daripada melakukannya bersama-sama. Hendaknya eksekutif senantiasa memberikan daya dukung kepada rakyat mengenai apa yang dibutuhkan, begitupun dengan rakyat yang senantiasa mendukung segala kebijakan yang lakukan oleh pemerintah dalam rangka mensejahterakan rakyatnya.

Fakta 3:
Ketika angsa pemimpin yang terbang didepan menjadi lelah, ia terbang memutar ke belakang formasi dan angsa lain akan terbang menggantikan posisinya. Seperti halnya angsa melakukan tugas-tugas yang sulit dan penuh tuntutan secara bergantian dan memimpin secara bersama., adanya saling bergantung satu dengan lainnya dalam hal kemampuan, kapasitas dan memiliki keunikan dalam karunia, talenta atau sumber daya lainnya. Hendaknya penyelenggara negara eksekutif harus secara aktif mendorong masyarakat untuk menyampaikan pendapat atau penilaian yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan program kerja. Karena apa yang menjadi tujuan negara adalah tujuan rakyat yaitu untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Fakta 4:
Angsa-angsa yang terbang dalam formasi ini mengeluarkan suara riuh rendah dari belakang untuk memberikan semangat kepada angsa yang terbang didepan sehingga kecepatan terbang dapat dijaga. Artinya bahwa suara rakyat melalui dewan akan memberikan kekuatan. Dalam kelompok yang saling menguatkan, hasil yang dicapai menjadi lebih besar. Kekuatan yang mendukung (berdiri dalam satu hati atau nilai-nilai utama dan saling menguatkan) adalah kualitas suara yang kita cari. Kita harus memastikan bahwa suara kita akan menguatkan dan bukan melemahkan.

Fakta 5:
Ketika seekor angsa menjadi sakit, terluka atau ditembak jatuh, dua angsa lain akan ikut keluar dari formasi bersama angsa tersebut dan mengikutinya terbang turun untuk membantu dan melindungi. Mereka tinggal dengan angsa yang jatuh itu sampai ia mati atau dapat terbang lagi. Setelah itu mereka akan terbang dengan kekuatan mereka sendiri atau dengan membentuk formasi lain untuk mengejar rombongan mereka. Ini menunjukkan bahwa sebagai wakil rakyat, baik eksekutif maupun legislatif yang hakekatnya memiliki perasaan, setidaknya seperti seekor angsa, dewan (DPRD) akan tinggal bersama sahabat dan sesama (rakyat) dalam saat-saat sulit mereka, sama seperti ketika segalanya baik untuk menyuarakan segala aspirasi/tuntutan rakyat.


Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2008) bahwa di dalam pelaksanaan good governance di pemerintahan daerah hendaknya didasarkan pada asas demokrasi (partisipasi masyarakat) yang meliputi:
a.Peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan publik yang diterbitkan dalam rangka pelaksanaan fungsi dan tugasnya, harus dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan.
b.Penyusunan program kerja harus memperhatikan kepentingan umum dan dilakukan dengan melibatkan masyarakat.
c.Penyelenggara negara eksekutif harus secara aktif mendorong masyarakat untuk menyampaikan pendapat atau penilaian yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan program kerja.

Partisipasi masyarakat diwujudkan dalam berbagai macam bentuk antara lain melalui wakil-wakil rakyat yang ada di dewan (DPRD). Melalui wakil-wakil rakyat aspirasi masyarakat disampaikan kepada pemerintah daerah. Selain hal tersebut di dalam masa reses anggota dewan melakukan proses penjaringan aspirasi masyarakat secara langsung yang hasilnya kemudian dirumuskan dan disebut dengan Pokok-Pokok Pikiran Dewan yang digunakan sebagai salah satu acuan didalam proses penyusunan APBD.
Penjaringan aspirasi masyarakat dimaksudkan untuk memperoleh masukan dari masyarakat tentang apa yang perlu diprogramkan dalam satu tahun anggaran (Agustinus Salle, 2006). Bentuk penjaringan aspirasi masyarakat dapat dilakukan secara aktif, pasif maupun reaktif. Metode penjaringan secara aktif DPRD melakukan pencarian dan pengumpulan data/informasi untuk mengetahui apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Metode ini dapat dilakukan melalui kuesioner, observasi ke lapangan, dan dialog interaktif. Penjaringan aspirasi juga dapat dilakukan secara pasif dalam arti bahwa masyarakat atau pihak lain yang berkepentingan yang aktif memberikan data atau informasi kepada DPRD dan DPRD hanya menyediakan sarananya. Metode ini dapat ditempuh melalui kotak saran, kotak pos, telepon bebas pulsa, web-site. Terakhir, metode penjaringan aspirasi yang reaktif yaitu DPRD bertindak untuk menggali data/informasi lebih lanjut setelah suatu peristiwa atau kejadian tertentu di masyarakat. Metode ini dapat ditempuh melalui hearing dan inspeksi mendadak (sidak).

Partisipasi masyarakat dalam Musrenbang mutlak adanya. Pelibatan para pelaku pembangunan sangat jelas aturannya. Keterlibatan para pelaku pembangunan bisa secara langsung dan bisa juga melalui aspirasi yang dijaring pada sub-komunitas. Agar hasil serap aspirasi berdaya guna dan berhasil guna tinggi, maka perlu adanya penyadaran yang terus-menerus, agar aspirasi masyarakat tidak menghasilkan daftar keinginan, melainkan menghasilkan daftar kebutuhan prioritas. Hal ini untuk menghindari sikap ketergantungan mutlak yang berkepanjangan, menumbuhkembangkan sikap keberdayaan, dan menuju terwujudnya kemandirian yang nyata.
Partisipasi masyarakat merupakan jiwa dari pemberdayaan masyarakat. Pembangunan yang memberdayakan adalah pembangunan yang membebaskan masyarakat dari ketergantungan atas pelayanan pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu partisipasi dalam pembangunan harus melalui penumbuhan kemauan, kemampuan, dan rasa percaya diri masyarakat.

Transparansi Kebijakan Publik Bak Nuansa Bening di Istana Damai
Transparansi dibangun di atas dasar arus informasi yang bebas, seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak.

Pengawasan yang baik hanya dapat dilakukan apabila terjadi dalam suatu ‘ruang’ yang memungkinkan untuk panca indera memperhatikan atau melihat dengan baik. Agar ruang tersebut dapat memungkinkan demikian, maka ruang itu haruslah transparan. Dengan demikian transparan memiliki pengertian situasi dimana keadaan mudah dilihat atau cahaya mampu melewati ruang tersebut tanpa gangguan. Dalam konteks korupsi maka definisi kedua dari transparan cukup memadai yaitu secara publik dapat terlihat sehingga memiliki kemampuan untuk mengurangi kesempatan melakukan korupsi. Artinya bahwa transparan menjadi wahana untuk mewujudkan situasi untuk mudah diawasi sehingga mampu mengurangi kesempatan melakukan korupsi. Tanpa kejujuran, rendahnya tingkat pengawasan dan buramnya tabir jabatan yang diemban menumbuh-suburkan kebiasan korupsi (Krisanto, 2010). Kondisi akan terlihat atau mudah diawasi bagi jabatan publik, menjadi penting bahkan prasyarat apabila Indonesia menghendaki untuk bebas dari korupsi. Yaitu 1) memutuskan lingkaran setan korupsi dengan kejujuran; 2) jabatan publik membutuhkan pengawasan untuk mengurangi pembentukan karakter ketidakjujuran yang menjadi watak dasar dari korupsi dan 3) mendorong jabatan publik menjadi transparan sehingga mudah diawasi.

Emerson, Gandhi, Shakespeare, dan Jafferson dalam bimbelmedica.blogspot.com (2001), yang mengungkapkan bahwa:
............“Yang merupakan intisari dari seluruh pemerintahan ialah kejujuran”.

Kejujuran dan transparansi adalah dua hal yang saling mendukung, artinya bahwa untuk pengawasan, kejujuran atau membentuk kebiasaan jujur dibutuhkan sehingga ruang atau wilayah dapat diawasi, dan dalam hal meniscayakan pengawasan yang optimal membutuhkan transparansi atas jabatan publik yang diawasi (Krisanto, 2010). Dalam sahabaturgawi.net, sebuah media pelayanan rohani kristen antar jemaat, gereja dan antar denominasi secara online mengatakan bahwa secara hurufiah jujur berarti: berbicara, bertindak, bersikap apa adanya, tidak menyembunyikan, terang-terangan. Makna ini sangat cocok diterapkan bagi orang Kristen karena orang Kristen diberi julukan oleh Kristus sebagai “terang dunia” (Matius 5:14). Artinya hidup kita harus terang, transparan, tidak ada kemunafikan. Sebagai terang seharusnya kegelapan tidak bisa menguasai bahkan sebaliknya kegelapan itu yang hilang karena ditelan oleh terang, kecuali terang itu menjadi padam. Dalam terang segala sesuatu menjadi nyata, dalam terang tidak ada bahaya.

Allah paling menghargai kejujuran. Karena ada tertulis; “Perbuatan yang adil dan benar lebih menyenangkan TUHAN dari pada segala persembahan” (Alkitab, Amsal 21:3). Orang yang bersaksi dusta terhadap sesamanya adalah seperti gada, atau pedang, atau panah yang tajam (Alkitab, Amsal 25:18). Tuhan tidak setuju dengan ketidakjujuran dalam segala urusan termasuk urusan publik. Amanat untuk bersikap jujur dan terbuka ada pula tertulis dalam Alkitab; “Sebab nasihat kami tidak lahir dari kesesatan atau dari maksud yang tidak murni dan juga tidak disertai tipu daya (Alkitab, 2 Tesalonika 2:3). Karena kami memikirkan yang baik, bukan hanya di hadapan Tuhan, tetapi juga di hadapan manusia ( Alkitab, 2 Korintus 8:21). Kejujuran dilibatkan dalam dua perintah dari Sepuluh Perintah Allah . Ada dalam Alkitab, Jangan mencuri. Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu (Keluaran 20:15-16). Dengan demikian di dalam Akitab Allah memberi amanat bagi seluruh jemaat-Nya di bumi untuk bersikap jujur dan terbuka.

Kemampuan untuk menjawab atau memenuhi janji atau commitment kepada orang lain atau diri sendiri tersebut adalah tanggung jawab (responsibility) . Jadi pemerintah yang bertanggung jawab adalah pemerintah yang mampu menjawab atau memenuhi janji kepada warganya. Untuk mewujudkan pertanggungjawaban pemerintah terhadap warganya salah satu cara dilakukan dengan menggunakan prinsip transparansi (keterbukaan). Melalui transparansi penyelenggaraan pemerintahan, masyarakat diberikan kesempatan untuk mengetahui kebijakan yang akan dan telah diambil oleh pemerintah. Juga melalui transparansi penyelenggaraan pemerintahan tersebut, masyarakat dapat memberikan feedback atau outcomes terhadap kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah.
Makna dari transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dilihat dalam dua hal yaitu:
a)Salah satu wujud pertanggung jawaban pemerintah kepada rakyat, dan
b)upaya peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan mengurangi kesempatan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).


PENUTUP
Sebagai penutup, saya ingin berpesan bahwa sejarah perjuangan bangsa kita telah banyak memberikan pelajaran yang bermakna yang perlu mendapatkan perhatian sungguh-sungguh dalam pengembangan “sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bangsa”. Dalam hubungan itu, saya ingin menyampaikan bahwa sebagai amanat dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang menghikmati dan menjadi dasar atas kehendak Tuhan atas sila-sila lainnya dari Pancasila, oleh sebab itu pengembangannya harus didasarkan pada ajaran Tuhan yang otentik. Kemudian perlu untuk melakukan segala sesuatu dengan niat yang tulus berdasarkan iman spiritualitas dalam melangsungkan ibadah bagi kemajuan masyarakat, bangsa, negara, dan umat manusia secara keseluruhan, sehingga berani mengatakan “yang salah adalah salah, yang benar adalah benar”, dan memiliki kemampuan “untuk memperbaiki yang salah dan menegakkan yang benar” dalam upaya pencapaian kepemerintahan yang baik serta sebagai bentuk peran serta aktif dalam upaya bersama mewujudkan cita-cita bangsa bernegara.
Pemberantasan korupsi tidak bisa hanya dengan pendekatan hukum dan politik semata-mata, karena korupsi sudah berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam kaitan ini, diperlukan suatu pendekatan lintas disiplin lintas agama dan lintas budaya. Dalam kaitan ini, maka transformasi nilai-nilai moral dalam suatu masyarakat, tidak bisa melepaskan diri dari perspektif agama-agama, apalagi bagi rakyat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang beragama. Agama adalah sumber nilai-nilai moral yang tidak pernah kering.
Penerapan “Good Governance” yang sama halnya dengan penerapan “ amanat Tuhan” adalah cahaya dalam pengelolaan keuangan rakyat. Cahaya berfilsafat dengan keberadaannnya yang terang-benderang. Menjadi lambang kesadaran, cahaya berjalan lurus menyibakkan kegelapan. Good Governance adalah “angin segar” serta “harapan baru” yang tidak terlepas dari amanat untuk pelaksanaan pemerintahan yang baik. Good governance adalah sebagai; “the way state power is used in managing economic and social resources for development of society” (World Bank) yakni sebagai cara yang diyakini baik untuk mengelola urusan-urusan publik. Di sisi lain Good Governance adalah “perpanjangan tangan Tuhan di dunia” yaitu sebagai amanat terhadap wakil Allah (pemerintah) di dunia untuk mewujudkan kehendak, maksud dan tujuan Allah di dunia, sebagaimana tertera di dalam injil bahwa tidak ada pemerintahan yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah (Injil, Roma 13:1). Allah adalah terang dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan (Injil, 1 Yohanes 1:5b). Sama halnya good governance sebagai penerang bagi rakyat menuju era terang benderang dengan mengadepankan prinsip-prinsip akuntabilitas, partisipasi masyarakat, transparansi kebijakan publik, dan peran gaya kepemimpinan yang baik yang hendaknya menjadi lilin-lilin kecil di tengah belantara gelapnya manajemen keuangan rakyat yang berimplikasi terhadap pelayanan publik yang buruk, kebocoran anggaran, membudayanya korupsi, kolusi dan nepotisme.




Menanam Prinsip Ketuhanan: Menuai Keseimbangan Dalam Pendidikan Akuntansi (Oleh: Aprianto L. Kuddy - Program Magister Sains Akuntansi UB Malang)

Menanam Prinsip Ketuhanan:
Menuai Keseimbangan Dalam Pendidikan Akuntansi

Oleh :
Aprianto La’lang. Kuddy

Program Magister Sains Akuntansi
Universitas Brawijaya, Malang

Kejayaan dalam mendidik manusia ialah bilamana seseorang itu mampu memperkenalkan Tuhan kepada manusia lain sehingga takut dan cinta kepada-Nya. Cinta dan takut itu menjadikan manusia itu suka untuk beribadah kepada Tuhannya. Buah dari pada ibadahnya melahirkan manusia yang baik yang boleh memberi manfaat kepada orang lain.

------------------------------------------------


Abstrak
Dalam artikel ini, saya mencoba memberikan deskripsi tentang pentingnya suatu penerapan prinsip spiritualitas religius di dalam pelaksanaan pendidikan akuntansi. Melanjutkan apa yang telah dipaparkan Irianto dalam Orasi Ilmiah dalam rangka Wisuda Sarjana XI Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Satya Dharma, Singaraja, 2010, saya dalam makalah ini menegaskan bahwa spiritualitas adalah kata kunci untuk membangun manusia yang berkarakter, yang secara inklusif mengintegrasikan pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual intelligence), kecerdasan emosional (emotional intelligence), dan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence). Hal ini memberikan gambaran bahwa penerapan konsep spiritualitas sebagai refleksi perpanjangan tangan Tuhan untuk mengembalikan seluruh umat kepada fitrahnya dalam meraih cita-cita masyarakat yang madani, sekaligus secara khusus sebagai salah satu pilar yang diyakini akan memperkokoh pengembangan pendidikan akuntansi di Indonesia.

Kata Kunci: Pendidikan Akuntansi, Spiritualitas, fitrah, dan cita-cita bangsa.


Pendahuluan
Perkembangan dan kemajuan peradaban suatu bangsa baik pada bidang penguasaan IPTEK maupun dalam hal lainnya yang erat hubungannya dengan pendidikan perlu adanya suatu perubahan dalam proses belajar mengajar. Maka dengan adanya perubahan pendidikan yang bukan hanya sebagai sarana untuk menyampaikan ilmu tetapi diharapkan adanya perubahan pola kehidupan yang lebih baik. Keberhasilan pendidikan dapat dilihat dari peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Sumber daya manusia yang berkualitas akan mampu mengembangkan potensi yang dimiliki untuk kemajuan bangsa dan negara. Salah satu upaya membina dan membangun SDM yang tangguh dan dapat diandalkan diantaranya adalah melalui pendidikan, baik yang diberikan melalui pendidikan formal di sekolah, maupun pendidikan di lingkungan masyarakat. Menurut Dimyati dan Mujiono (2006: 7) “pendidikan merupakan sesuatu tindakan yang memungkinkan terjadinya belajar dan perkembangan”. Pendidikan merupakan proses interaksi tenaga pendidik dan anak didik yang mendorong terjadinya belajar. Sedangkan menurut Sardiman (2001 : 12) “pendidikan dan pengajaran adalah satu usaha yang bersifat sadar tujuan yang dengan sistematis terarah pada perubahan tingkah laku menuju kedewasaan anak didik”. Oleh karena itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki tanggung jawab yang besar dalam menyiapkan kebutuhan SDM yang handal dan siap berbagai tantangan di masa depan.

Peningkatan kualitas SDM merupakan salah satu penekanan dari tujuan pendidikan, seperti yang tertera dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang tujuan Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 yang berbunyi:
“Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berkhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Dengan adanya Undang-Undang tersebut, maka dari waktu ke waktu bidang pendidikan yang didasarkan kepada pengembangan moral serta etika yang mengedepankan keikutsertaan penerapan religiuitas yang tidak hanya sebatas penyampaian ilmu, haruslah menjadi prioritas dan menjadi orientasi untuk kemudian diusahakan penyediaan sarana dan prasarananya sehingga akan meningkatkan potensi spritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari suatu pendidikan akuntansi yang mengarah kepada basis keseimbangan.

Menumbuh Kembangkan Pendidikan Sekuler Tanpa “Benih Spiritualitas”
Pendidikan sekular memang bisa membikin orang pandai, tapi masalah integritas kepribadian atau perilaku, tidak ada jaminan sama sekali. Sistem pendidikan sekular itu akan melahirkan insan pandai, tapi buta atau lemah pemahaman agamanya. Lebih buruk lagi, yang dihasilkan adalah orang pandai tapi korup. Profesional tapi bejat moral. Ini adalah out put umum dari sistem pendidikan sekular.

Sebagai contoh negara Amerika atau negara Barat lainnya. Ekonomi mereka memang maju, kehidupan publiknya nyaman, sistim sosialnya nampak rapi. Kesadaran masyarakat terhadap peraturan publik tinggi. Tapi, perlu ingat bahwa agama ditinggalkan, gereja-gereja kosong. Agama dilindungi secara hukum tapi agama tidak boleh bersifat publik. Hari raya Idul Adha tidak boleh dirayakan di lapangan, azan tidak boleh pakai mikrofon. Pelajaran agama tidak saja absen di sekolah, tapi murid-murid khususnya Muslim tidak mudah melaksanakan sholat 5 waktu di sekolah. Kegiatan seks di kalangan anak sekolah bebas, asal tidak melanggar moral publik. Narkoba juga bebas asal untuk diri sendiri. Jadi dalam kehidupan publik kita tidak boleh melihat wajah agama. Sistem pendidikan yang material-sekularistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekular. Dalam sistem sekular, aturan-aturan, pandangan, dan nilai-nilai agama memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik ini lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama.

Masyarakat, bangsa dan Negara memiliki moral kejujuran dan jatidiri bangsa nampaknya masih jauh dan akan sulit berkembang. Faham kebebasan atau liberalis dalam masyarakat semakin kuat, dan kehidupan religius atau spiritualis bukan menjadi hal yang penting. Manusia adalah mahluk individual yang tidak membutuhkan tatanan moral sebagai koridor perlaku dalam masyarakat. Yang membutuhkan moral kejujuran dan jatidiri itu adalah orang miskin dan bodoh, kalau telah kaya dan bebas maka tidak perlu moral kejujuran dan jatidiri, kata para pendukung faham kapitalisme liberal. Pelaksanaan kurikulum dengan basis KBK tidak ada artinya karena pelaksanaan kurikulum KBK haruslah berlandaskan filsafat pendidikan konstruktivisme, bukan pada landasan filsafat subyektivisme atau liberalisme. Dalam filsafat konstruktivisme, kedudukan pengembangan moral dan jatidiri dari peserta didik menjadi sangat penting. Orang dapat saja menjadi cerdas dalam arti kemampuan IQ, namun belum tentu akan memiliki kemampuan kepribadian EQ dan SQ. Kini memang banyak orang pandai, namun mereka telah menjadi manusia-manusia yang serakah (greedy dalam adib, 2006) akan harta dan kekuasaan. Sebagai salah satu bukti bahwa penyakit korupsi yang bermetamorfosis menjadi kebudayaan di lingkungan para pejabat negara.

Hal yang menarik pula telah dipaparkan oleh Irianto mengenai praktik-praktik akuntansi yang berjalan selama ini tidak sedikit menimbulkan permasalahan. Irianto (2003, 2006) memaparkan dengan seksama hal ini. Sebut saja skandal kebangkrutan enron yang turut menjadi skandal terbesar dalam sejarah akuntansi. Dalam proses pengusutan sebab-sebab kebangkrutan itu Enron dicurigai telah melakukan praktek window dressing. Manajemen Enron telah menggelembungkan (mark up) pendapatannya US$ 600 juta, dan menyembunyikan utangnya sejumlah US$ 1,2 miliar. Hal ini tentunya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian dengan trik-trik manipulasi yang tinggi dan tentu saja orang-orang ini merupakan orang bayaran dari mulai analis keuangan, para penasihat hukum, dan auditornya. Ini disebabkan karena adanya unsur kebohongan yang dilakukan pada sebuah sistem terbuka, terjadi pelanggaran terhadap kode etik berbagai profesi seperti akuntan, pengacara dan lain sebagainya, dimana segelintir profesional tersebut serakah dengan memanfaatkan ketidaktahuan dan keawaman banyak orang, serta praktek persekongkolan tingkat tinggi. Ini tentu menunjukkan bahwa manusia sebagai pelaku sudah tidak lagi berada dalam koridor akhlak serta moralitas sebagai kehendak Tuhan sehingga hidup berdasarkan “takut akan tuhan” mulai memudar sejalan dengan masa modernisme yang kian menjulang.

Diakui atau tidak, selama bertahun-tahun dunia akuntansi sebagai salah satu aspek pendidikan, seakan terpasung di persimpangan jalan, tersisih di antara hiruk-pikuk dan ingar-bingar ambisi penguasa yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Pendidikan akuntansi seolah tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara “utuh” dan “paripurna”, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti. Pendidikan akuntansi lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, emosi, dan spiritual. Akibatnya, apresiasi output pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani, menjadi nihil.


Menanam “Benih Spiritualitas Rohaniah” dalam Pendidikan Akuntansi
Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya untuk mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari peran agama amat penting bagi kehidupan umat manusia maka internalisasi agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan akuntansi sekalipun.

Ludigdo (2010) seorang dosen di Fak. Ekonomi Universitas Brawijaya, dalam diskusinya menjelaskan bahwa mata kuliah Etika dalam ranah pendidikan akuntansi lebih menekankan pengasahan kemampuan intelektual mahasiswa dengan mengabaikan kemampuan emosi dan kemampuan spiritual. Padahal keberhasilan hidup seseorang ditentukan ketiga kecerdasan tersebut secara bersamaan. Dengan kesadaran demikian kelak sebagai profesional akuntan, mahasiswa akan selalu bekerja dengan baik dan benar atas dasar rasa tanggungjawabnya tidak saja kepada sesama manusia tetapi lebih dari itu adalah kepada Tuhan. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan akuntansi yang menurut Mulawarman (2008b, 2008c) adalah untuk memberikan nilai-nilai “cinta yang melampaui” pada mahasiswa dalam bentuk sinergi akuntabilitas-moralitas.

Bagi semua orang yang percaya akan keberadaan Tuhan sebagai sumber spirit-ualitasnya, salah satu hal yang secara paling mendasar mempengaruhi bagaimana seseorang memandang dunia ini, adalah konsepnya tentang Allah. Beritahukan pada saya, apa yang seseorang percayai tentang Allah, maka saya dapat memprediksikan apa pendapat orang tersebut dalam berbagai hal, dan bahkan bagaimana orang tersebut akan bertindak dalam berbagai situasi. Tentu ada ruang yang lebar untuk variasi individu, tetapi pandangan seseorang tentang Allah berada pada poros inti moralitas dan filosofinya.

Seorang atheis, misalnya, bahkan tidak percaya ada Allah. Oleh karena itu, atheis yang konsisten, tidak akan memiliki moralitas yang absolut. Ada atheis yang tidak memiliki moralitas sama sekali dan menunjukkan kepada dunia apa yang terjadi jika atheisme diimani secara konsekuen sampai pada kesimpulan akhirnya. Jika tidak ada Allah, maka manusia hanyalah binatang lainnya, dan tidak ada konsep benar atau salah. Oleh karena itu, mereka berlaku tidak lebih dari binatang yang pintar, melakukan apapun juga yang diingini tanpa ada rasa tanggung jawab sedikitpun. Dalam hal ini, tindakan mereka bahkan bisa lebih kejam dari binatang, karena binatang cukup puas dengan mempertahankan hidup dan eksistensi mereka, sedangkan manusia yang tidak bermoral dikuasai oleh nafsu yang tidak pernah mengenal cukup.

Kejayaan dalam mendidik manusia ialah bilamana seseorang itu mampu memperkenalkan Tuhan kepada manusia lain sehingga takut dan cinta kepada-Nya. Cinta dan takut itu menjadikan manusia itu suka untuk beribadah kepada Tuhannya. Buah dari pada ibadahnya melahirkan manusia yang baik yang boleh memberi manfaat kepada orang lain.


Maka bagi orang yang ada cita-cita untuk membaiki diri atau guru-guru yang hendak mendidik manusia, mereka mestilah mengetahui ilmu rohaniah ini. Sekaligus mempraktikkan ke dalam diri mereka terlebih dahulu sehingga mereka menjadi baik. Contoh dan suri teladan yang baik daripada mereka itulah jadi ikutan pula kepada murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Dengan kata-kata lain, mereka menjadi model hamba Allah yang baik yang mampu memberi faedah kepada manusia sejagat.

Jadi saya berfikir, kalau pendidik-pendidik atau guru-guru bahkan anggota didik tidak ada ilmu rohaniah, hanya faham fisikal manusia semata-mata, bagaimana dia hendak mendidik murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Tentu sekali pendidik-pendidik atau guru-guru serta murid-murid tadi akan gagal.

Saat ini terkait pendidikan akuntansi berbasis spiritualitas, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya telah telah menerapakan internalisasi karakter dalam pendidikan akuntansi. Sebut saja mata kuliah Sosio Spiritual Akuntansi sebagai salah satu contoh Internalisasi tersebut. Melalui mata kuliah ini mahasiswa diarahkan untuk mampu memahami akuntansi dalam konteks yang lebih luas dan teori sosiologi dari berbagai aliran, akuntansi dalam konteks yang lebih luas menghantarkan mahasiswa pada pola berfikir terbuka dan memahami akuntansi sebagai disiplin dan praktik yang inksklusif, sarat nilai, dan selalu berubah sesuai dengan perubahan sosial masyarakat melalui aspek spiritualitas. Pendidikan akuntansi berbasis spiritualitas dimaksudkan untuk peningkatan potensi spritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari suatu pendidikan akuntansi yang mengarah kepada basis keseimbangan.

Peningkatan potensi spritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai religiuitas, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.

Perlunya penerapan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar di bidang Pendidikan akuntansi berbasis keseimbangan, sangat tepat dalam rangka mewujudkan model pendidikan akuntansi yang bertujuan mencapai transformasi nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan peserta didik pada segala jenjang pendidikan.

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pendidikan akuntansi berbasis spiritual bukanlah “standar moral” yang ditetapkan untuk mengikat peserta didik, melainkan dampingan dan bimbingan bagi peserta didik dalam melakukan perjumpaan dengan Tuhan Allah untuk mengekspresikan hasil perjumpaan itu dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik belajar memahami, mengenal dan bergaul dengan Tuhan Allah secara akrab karena seungguhnya Tuhan Allah itu ada dan selalu ada dan berkarya dalam hidup mereka.

Mulawarman (2010) mengungkapkan:
...........”bila pendekatan paradigmatik Barat berbeda dengan pandangan religius seperti Islam di atas misalnya, maka apakah dimungkinkan adanya perbedaan yang signifikan pula akan pendekatan paradigmatik dari agama lain ? Saya kira hal itu sah-sah saja. Artinya ketika pendekatan paradigmatik Barat dirasa “sesak” karena adanya "ideologisasi" yang melekat pada dirinya, atau dirasa "terlalu longgar" karena adanya "deideologisasi" paradigmatik, maka dapat dipastikan serta perlunya ruang lain yang memberikan kebebasan atas kreativitas atas nama ilmu untuk mengkreasi, katakanlah, Paradigma Religius Contohnya”

Pelaksanaan Spiritualitas dalam pendidikan akuntansi hendaknya merupakan pencapaian pendidikan yang budi pekerti. Dalam konteks Agama Islam, budi pekerti digunakan untuk menyatakan akhlak, tabiat, perangai, tingkah laku seseorang. Pengertian yang telah dikemukakan tersebut, mengindikasikan bahwa budi pekerti mengacu pada sikap dan perilaku seseorang maupun masyarakat yang mengedepankan norma dan etika. Pendidikan akuntansi yang ber budi pekerti adalah usaha sadar penanaman/internalisasi nilai-nilai akhlak/moral dalam sikap dan prilaku manusia peserta didik agar memiliki sikap dan prilaku yang luhur (akhlakul karimah) dalam keseharian baik dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungan. Secara konsepsional Pendidikan Budi Pekerti merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya di masa yang akan datang atau pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan perilaku peserta didik agar mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, seimbang lahir batin, jasmani-rohani, material-spiritual, individu-sosial dan dunia-akhirat.

Dalam tataran operasional menurut Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan (Pusbangkurandik), pendidikan budi pekerti adalah upaya untuk membentuk peserta didik yang tercermin dalam kata, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, dan hasil karya berdasarkan nilai, norma dan moral luhur bangsa Indonesia melalui kegiatan bimbingan, pelatihan dan pengajaran. Menurut Pusbangkurandik, Balitbang dikbud pendidikan budi pekerti dikategorikan menjadi tiga komponen yaitu:
1)Keberagamaan, terdiri dari nilai-nilai; (a) kekhusukan hubungan dengan Tuhan, (b) kepatuhan kepada Agama, (c) niat baik dan keikhlasan, (d) perbuatan baik, (e) pembalasan atas perbuatan baik dan buruk.
2)Kemandirian, terdiri dari nilai-nilai; (a) harga diri, (b) disiplin, (c) etos kerja (kemauan untuk berubah, hasrat mengejar kemajuan, cinta ilmu, teknologi dan seni), (d) rasa tanggung jawab, (e) keberanian dan semangat, (f) keterbukaan, (g) pengendalian diri.
3)Kesusilaan, terdiri dari nilai-nilai; (a) cinta dan kasih sayang, (b) kebersamaan, (c) kesetiakawanan, (d) tolong-menolong, (e) tenggang rasa, (f) hormat menghormati, (g) kelayakan (kapatuhan), (h) rasa malu, (i) kejujuran dan (j) pernyataan terima kasih, permintaan maaf (rasa tahu diri).

Pada dasarnya ada tiga ranah yang populer dikalangan dunia pendidikan yang menjadi lapangan garapan pembentukkan kepribadian peserta didik.
Pertama, kognitif, mengisi otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada tahap-tahap berikutnya dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat memfungsi akalnya menjadi kecerdasan intelegensia.
Kedua, afektif, yang berkenaan dengan perasaan, emosional, pembentukan sikap di dalam diri pribadi seseorang dengan terbentuknya sikap, simpati, antipati, mencintai, membenci,
dan lain sebagainya. Sikap ini semua dapat digolongkan sebagai kecerdasan emosional.
Ketiga, psikomotorik, adalah berkenaan dengan aktion, perbuatan, prilaku, dan seterusnya.

Apabila disinkronkan ketiga ranah tersebut dapat disimpulkan bahwa dari memiliki pengetahuan tentang sesuatu, kemudian memiliki sikap tentang hal tersebut dan selanjutnya berprilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya dan apa yang disikapinya.
Pendidikan budi pekerti, adalah meliputi ketiga aspek tersebut. Seseorang mesti mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk. Selanjutnya bagaimana seseorang memiliki sikap terhadap baik dan buruk, dimana seseorang sampai ketingkat mencintai kebaikan dan membenci keburukan. pada tingkat berikutnya bertindak, berprilaku sesuai dengan nilai-nilai kebaikan, sehingga muncullah akhlak dan budi pekerti mulia.

“Love the Lord, your God, with all your heart, all your soul and all your mind”

Dengan melihat pendidikan akuntansi sebagai pendidikan akhlak dan pendidikan Budi pekerti di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan akuntansi berdasarkan akhlak dan budi pekerti adalah pendidikan yang menitik beratkan pada ranah afeksi dan psikomotor siswa, yang dalam proses pembelajaran sering terabaikan. Kedua jenis pendidikan ini merupakan jenis pendidikan yang harapan akhirnya adalah terwujudnya peserta didik yang memiliki integritas moral yang mampu direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berinteraksi denganTuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungan.


Catatan Akhir
Saya pun ingin mengungkapkan melalui tulisan ini bahwasannya “takut akan Tuhan adalah permulaan dari segala ilmu.” Sebagai orang yang percaya atas keberadaan Tuhan yang nyata dalam kehidupan manusia, saya ingin mengatakan bahwa segala akhlak, segala moral, segala etika, segala kebaikan, segala cinta kasih, adalah suatu bentuk kehendak yang sumbernya dari Tuhan demi terwujudnya sebuah keseimbangan bagi segala apek kehidupan di muka bumi ini.
Seiring dengan perubahan dan dinamika masyarakat yang terus bergerak menuju arus globalisasi, problem dan tantangan yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan akuntansi makin rumit dan kompleks. Pendidikan akuntansi tidak hanya dituntut untuk mampu melahirkan generasi-generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga diharapkan dapat menciptakan generasi bangsa yang cerdas secara emosional dan spiritual. Dengan kata lain, pendidikan akuntansi dituntut untuk mampu melahirkan generasi yang “utuh” dan “paripurna”. Namun, melahirkan generasi yang “utuh” dan “paripurna” semacam itu bukanlah pekerjaan yang mudah.
Tidak sedikit orang yang tidak puas terhadap keberadaan akuntansi saat ini. Akuntansi dianggap hanya ilmu alat sebagai peninggalan penjajahan (Belanda) di Indonesia masa lalu. Ditambah lagi, begitu banyaknya skandal yang dilatar belakangi akuntansi yang mencuat dipermukaan publik saat ini, sebut saja pernah ada kasus Enron, dan ada lagi skandal Gayus Tambunan dalam kasus mafia pajak terbesar saat ini di Indonesia dan lain sebagainya.
Pada dasarnya, pendidikan akuntansi adalah pendidikan yang terkait dengan tanggung jawab atau mempertanggungjawabkan sesuatu. Diakui atau tidak, selama bertahun-tahun dunia akuntansi sebagai salah satu aspek pendidikan, seakan terpasung di persimpangan jalan, tersisih di antara hiruk-pikuk dan ingar-bingar ambisi penguasa yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Pendidikan akuntansi seolah tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara “utuh” dan “paripurna”, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti. Pendidikan akuntansi lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, emosi, dan spiritual. Akibatnya, apresiasi output pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani, menjadi nihil.
Akhir kata, “menanam benih yang baik, tentu akan menuai hasil yang baik pula. Apapun yang sifatnya demi kebaikan berdasarkan “the power of love” adalah apa yang diwajibkan Tuhan sebagai jalan yang benar. Keberadaan Tuhan dalam dunia pendidikan akuntansi adalah mutlak. Membangun sebuah kecerdasan spiritual yang berlandaskan kecerdasan hati, perasaan, emosi, dan spiritual yang rohaniah dalam akuntansi adalah jembatan menuju pencapaian kehendak Tuhan bagi segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan akuntansi menuju keseimbangan segala aspek. Semoga.