Sabtu, 27 Maret 2010

Menanam Prinsip Ketuhanan: Menuai Keseimbangan Dalam Pendidikan Akuntansi (Oleh: Aprianto L. Kuddy - Program Magister Sains Akuntansi UB Malang)

Menanam Prinsip Ketuhanan:
Menuai Keseimbangan Dalam Pendidikan Akuntansi

Oleh :
Aprianto La’lang. Kuddy

Program Magister Sains Akuntansi
Universitas Brawijaya, Malang

Kejayaan dalam mendidik manusia ialah bilamana seseorang itu mampu memperkenalkan Tuhan kepada manusia lain sehingga takut dan cinta kepada-Nya. Cinta dan takut itu menjadikan manusia itu suka untuk beribadah kepada Tuhannya. Buah dari pada ibadahnya melahirkan manusia yang baik yang boleh memberi manfaat kepada orang lain.

------------------------------------------------


Abstrak
Dalam artikel ini, saya mencoba memberikan deskripsi tentang pentingnya suatu penerapan prinsip spiritualitas religius di dalam pelaksanaan pendidikan akuntansi. Melanjutkan apa yang telah dipaparkan Irianto dalam Orasi Ilmiah dalam rangka Wisuda Sarjana XI Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Satya Dharma, Singaraja, 2010, saya dalam makalah ini menegaskan bahwa spiritualitas adalah kata kunci untuk membangun manusia yang berkarakter, yang secara inklusif mengintegrasikan pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual intelligence), kecerdasan emosional (emotional intelligence), dan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence). Hal ini memberikan gambaran bahwa penerapan konsep spiritualitas sebagai refleksi perpanjangan tangan Tuhan untuk mengembalikan seluruh umat kepada fitrahnya dalam meraih cita-cita masyarakat yang madani, sekaligus secara khusus sebagai salah satu pilar yang diyakini akan memperkokoh pengembangan pendidikan akuntansi di Indonesia.

Kata Kunci: Pendidikan Akuntansi, Spiritualitas, fitrah, dan cita-cita bangsa.


Pendahuluan
Perkembangan dan kemajuan peradaban suatu bangsa baik pada bidang penguasaan IPTEK maupun dalam hal lainnya yang erat hubungannya dengan pendidikan perlu adanya suatu perubahan dalam proses belajar mengajar. Maka dengan adanya perubahan pendidikan yang bukan hanya sebagai sarana untuk menyampaikan ilmu tetapi diharapkan adanya perubahan pola kehidupan yang lebih baik. Keberhasilan pendidikan dapat dilihat dari peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Sumber daya manusia yang berkualitas akan mampu mengembangkan potensi yang dimiliki untuk kemajuan bangsa dan negara. Salah satu upaya membina dan membangun SDM yang tangguh dan dapat diandalkan diantaranya adalah melalui pendidikan, baik yang diberikan melalui pendidikan formal di sekolah, maupun pendidikan di lingkungan masyarakat. Menurut Dimyati dan Mujiono (2006: 7) “pendidikan merupakan sesuatu tindakan yang memungkinkan terjadinya belajar dan perkembangan”. Pendidikan merupakan proses interaksi tenaga pendidik dan anak didik yang mendorong terjadinya belajar. Sedangkan menurut Sardiman (2001 : 12) “pendidikan dan pengajaran adalah satu usaha yang bersifat sadar tujuan yang dengan sistematis terarah pada perubahan tingkah laku menuju kedewasaan anak didik”. Oleh karena itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki tanggung jawab yang besar dalam menyiapkan kebutuhan SDM yang handal dan siap berbagai tantangan di masa depan.

Peningkatan kualitas SDM merupakan salah satu penekanan dari tujuan pendidikan, seperti yang tertera dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang tujuan Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 yang berbunyi:
“Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berkhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Dengan adanya Undang-Undang tersebut, maka dari waktu ke waktu bidang pendidikan yang didasarkan kepada pengembangan moral serta etika yang mengedepankan keikutsertaan penerapan religiuitas yang tidak hanya sebatas penyampaian ilmu, haruslah menjadi prioritas dan menjadi orientasi untuk kemudian diusahakan penyediaan sarana dan prasarananya sehingga akan meningkatkan potensi spritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari suatu pendidikan akuntansi yang mengarah kepada basis keseimbangan.

Menumbuh Kembangkan Pendidikan Sekuler Tanpa “Benih Spiritualitas”
Pendidikan sekular memang bisa membikin orang pandai, tapi masalah integritas kepribadian atau perilaku, tidak ada jaminan sama sekali. Sistem pendidikan sekular itu akan melahirkan insan pandai, tapi buta atau lemah pemahaman agamanya. Lebih buruk lagi, yang dihasilkan adalah orang pandai tapi korup. Profesional tapi bejat moral. Ini adalah out put umum dari sistem pendidikan sekular.

Sebagai contoh negara Amerika atau negara Barat lainnya. Ekonomi mereka memang maju, kehidupan publiknya nyaman, sistim sosialnya nampak rapi. Kesadaran masyarakat terhadap peraturan publik tinggi. Tapi, perlu ingat bahwa agama ditinggalkan, gereja-gereja kosong. Agama dilindungi secara hukum tapi agama tidak boleh bersifat publik. Hari raya Idul Adha tidak boleh dirayakan di lapangan, azan tidak boleh pakai mikrofon. Pelajaran agama tidak saja absen di sekolah, tapi murid-murid khususnya Muslim tidak mudah melaksanakan sholat 5 waktu di sekolah. Kegiatan seks di kalangan anak sekolah bebas, asal tidak melanggar moral publik. Narkoba juga bebas asal untuk diri sendiri. Jadi dalam kehidupan publik kita tidak boleh melihat wajah agama. Sistem pendidikan yang material-sekularistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekular. Dalam sistem sekular, aturan-aturan, pandangan, dan nilai-nilai agama memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik ini lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama.

Masyarakat, bangsa dan Negara memiliki moral kejujuran dan jatidiri bangsa nampaknya masih jauh dan akan sulit berkembang. Faham kebebasan atau liberalis dalam masyarakat semakin kuat, dan kehidupan religius atau spiritualis bukan menjadi hal yang penting. Manusia adalah mahluk individual yang tidak membutuhkan tatanan moral sebagai koridor perlaku dalam masyarakat. Yang membutuhkan moral kejujuran dan jatidiri itu adalah orang miskin dan bodoh, kalau telah kaya dan bebas maka tidak perlu moral kejujuran dan jatidiri, kata para pendukung faham kapitalisme liberal. Pelaksanaan kurikulum dengan basis KBK tidak ada artinya karena pelaksanaan kurikulum KBK haruslah berlandaskan filsafat pendidikan konstruktivisme, bukan pada landasan filsafat subyektivisme atau liberalisme. Dalam filsafat konstruktivisme, kedudukan pengembangan moral dan jatidiri dari peserta didik menjadi sangat penting. Orang dapat saja menjadi cerdas dalam arti kemampuan IQ, namun belum tentu akan memiliki kemampuan kepribadian EQ dan SQ. Kini memang banyak orang pandai, namun mereka telah menjadi manusia-manusia yang serakah (greedy dalam adib, 2006) akan harta dan kekuasaan. Sebagai salah satu bukti bahwa penyakit korupsi yang bermetamorfosis menjadi kebudayaan di lingkungan para pejabat negara.

Hal yang menarik pula telah dipaparkan oleh Irianto mengenai praktik-praktik akuntansi yang berjalan selama ini tidak sedikit menimbulkan permasalahan. Irianto (2003, 2006) memaparkan dengan seksama hal ini. Sebut saja skandal kebangkrutan enron yang turut menjadi skandal terbesar dalam sejarah akuntansi. Dalam proses pengusutan sebab-sebab kebangkrutan itu Enron dicurigai telah melakukan praktek window dressing. Manajemen Enron telah menggelembungkan (mark up) pendapatannya US$ 600 juta, dan menyembunyikan utangnya sejumlah US$ 1,2 miliar. Hal ini tentunya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian dengan trik-trik manipulasi yang tinggi dan tentu saja orang-orang ini merupakan orang bayaran dari mulai analis keuangan, para penasihat hukum, dan auditornya. Ini disebabkan karena adanya unsur kebohongan yang dilakukan pada sebuah sistem terbuka, terjadi pelanggaran terhadap kode etik berbagai profesi seperti akuntan, pengacara dan lain sebagainya, dimana segelintir profesional tersebut serakah dengan memanfaatkan ketidaktahuan dan keawaman banyak orang, serta praktek persekongkolan tingkat tinggi. Ini tentu menunjukkan bahwa manusia sebagai pelaku sudah tidak lagi berada dalam koridor akhlak serta moralitas sebagai kehendak Tuhan sehingga hidup berdasarkan “takut akan tuhan” mulai memudar sejalan dengan masa modernisme yang kian menjulang.

Diakui atau tidak, selama bertahun-tahun dunia akuntansi sebagai salah satu aspek pendidikan, seakan terpasung di persimpangan jalan, tersisih di antara hiruk-pikuk dan ingar-bingar ambisi penguasa yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Pendidikan akuntansi seolah tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara “utuh” dan “paripurna”, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti. Pendidikan akuntansi lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, emosi, dan spiritual. Akibatnya, apresiasi output pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani, menjadi nihil.


Menanam “Benih Spiritualitas Rohaniah” dalam Pendidikan Akuntansi
Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya untuk mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari peran agama amat penting bagi kehidupan umat manusia maka internalisasi agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan akuntansi sekalipun.

Ludigdo (2010) seorang dosen di Fak. Ekonomi Universitas Brawijaya, dalam diskusinya menjelaskan bahwa mata kuliah Etika dalam ranah pendidikan akuntansi lebih menekankan pengasahan kemampuan intelektual mahasiswa dengan mengabaikan kemampuan emosi dan kemampuan spiritual. Padahal keberhasilan hidup seseorang ditentukan ketiga kecerdasan tersebut secara bersamaan. Dengan kesadaran demikian kelak sebagai profesional akuntan, mahasiswa akan selalu bekerja dengan baik dan benar atas dasar rasa tanggungjawabnya tidak saja kepada sesama manusia tetapi lebih dari itu adalah kepada Tuhan. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan akuntansi yang menurut Mulawarman (2008b, 2008c) adalah untuk memberikan nilai-nilai “cinta yang melampaui” pada mahasiswa dalam bentuk sinergi akuntabilitas-moralitas.

Bagi semua orang yang percaya akan keberadaan Tuhan sebagai sumber spirit-ualitasnya, salah satu hal yang secara paling mendasar mempengaruhi bagaimana seseorang memandang dunia ini, adalah konsepnya tentang Allah. Beritahukan pada saya, apa yang seseorang percayai tentang Allah, maka saya dapat memprediksikan apa pendapat orang tersebut dalam berbagai hal, dan bahkan bagaimana orang tersebut akan bertindak dalam berbagai situasi. Tentu ada ruang yang lebar untuk variasi individu, tetapi pandangan seseorang tentang Allah berada pada poros inti moralitas dan filosofinya.

Seorang atheis, misalnya, bahkan tidak percaya ada Allah. Oleh karena itu, atheis yang konsisten, tidak akan memiliki moralitas yang absolut. Ada atheis yang tidak memiliki moralitas sama sekali dan menunjukkan kepada dunia apa yang terjadi jika atheisme diimani secara konsekuen sampai pada kesimpulan akhirnya. Jika tidak ada Allah, maka manusia hanyalah binatang lainnya, dan tidak ada konsep benar atau salah. Oleh karena itu, mereka berlaku tidak lebih dari binatang yang pintar, melakukan apapun juga yang diingini tanpa ada rasa tanggung jawab sedikitpun. Dalam hal ini, tindakan mereka bahkan bisa lebih kejam dari binatang, karena binatang cukup puas dengan mempertahankan hidup dan eksistensi mereka, sedangkan manusia yang tidak bermoral dikuasai oleh nafsu yang tidak pernah mengenal cukup.

Kejayaan dalam mendidik manusia ialah bilamana seseorang itu mampu memperkenalkan Tuhan kepada manusia lain sehingga takut dan cinta kepada-Nya. Cinta dan takut itu menjadikan manusia itu suka untuk beribadah kepada Tuhannya. Buah dari pada ibadahnya melahirkan manusia yang baik yang boleh memberi manfaat kepada orang lain.


Maka bagi orang yang ada cita-cita untuk membaiki diri atau guru-guru yang hendak mendidik manusia, mereka mestilah mengetahui ilmu rohaniah ini. Sekaligus mempraktikkan ke dalam diri mereka terlebih dahulu sehingga mereka menjadi baik. Contoh dan suri teladan yang baik daripada mereka itulah jadi ikutan pula kepada murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Dengan kata-kata lain, mereka menjadi model hamba Allah yang baik yang mampu memberi faedah kepada manusia sejagat.

Jadi saya berfikir, kalau pendidik-pendidik atau guru-guru bahkan anggota didik tidak ada ilmu rohaniah, hanya faham fisikal manusia semata-mata, bagaimana dia hendak mendidik murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Tentu sekali pendidik-pendidik atau guru-guru serta murid-murid tadi akan gagal.

Saat ini terkait pendidikan akuntansi berbasis spiritualitas, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya telah telah menerapakan internalisasi karakter dalam pendidikan akuntansi. Sebut saja mata kuliah Sosio Spiritual Akuntansi sebagai salah satu contoh Internalisasi tersebut. Melalui mata kuliah ini mahasiswa diarahkan untuk mampu memahami akuntansi dalam konteks yang lebih luas dan teori sosiologi dari berbagai aliran, akuntansi dalam konteks yang lebih luas menghantarkan mahasiswa pada pola berfikir terbuka dan memahami akuntansi sebagai disiplin dan praktik yang inksklusif, sarat nilai, dan selalu berubah sesuai dengan perubahan sosial masyarakat melalui aspek spiritualitas. Pendidikan akuntansi berbasis spiritualitas dimaksudkan untuk peningkatan potensi spritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari suatu pendidikan akuntansi yang mengarah kepada basis keseimbangan.

Peningkatan potensi spritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai religiuitas, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.

Perlunya penerapan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar di bidang Pendidikan akuntansi berbasis keseimbangan, sangat tepat dalam rangka mewujudkan model pendidikan akuntansi yang bertujuan mencapai transformasi nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan peserta didik pada segala jenjang pendidikan.

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pendidikan akuntansi berbasis spiritual bukanlah “standar moral” yang ditetapkan untuk mengikat peserta didik, melainkan dampingan dan bimbingan bagi peserta didik dalam melakukan perjumpaan dengan Tuhan Allah untuk mengekspresikan hasil perjumpaan itu dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik belajar memahami, mengenal dan bergaul dengan Tuhan Allah secara akrab karena seungguhnya Tuhan Allah itu ada dan selalu ada dan berkarya dalam hidup mereka.

Mulawarman (2010) mengungkapkan:
...........”bila pendekatan paradigmatik Barat berbeda dengan pandangan religius seperti Islam di atas misalnya, maka apakah dimungkinkan adanya perbedaan yang signifikan pula akan pendekatan paradigmatik dari agama lain ? Saya kira hal itu sah-sah saja. Artinya ketika pendekatan paradigmatik Barat dirasa “sesak” karena adanya "ideologisasi" yang melekat pada dirinya, atau dirasa "terlalu longgar" karena adanya "deideologisasi" paradigmatik, maka dapat dipastikan serta perlunya ruang lain yang memberikan kebebasan atas kreativitas atas nama ilmu untuk mengkreasi, katakanlah, Paradigma Religius Contohnya”

Pelaksanaan Spiritualitas dalam pendidikan akuntansi hendaknya merupakan pencapaian pendidikan yang budi pekerti. Dalam konteks Agama Islam, budi pekerti digunakan untuk menyatakan akhlak, tabiat, perangai, tingkah laku seseorang. Pengertian yang telah dikemukakan tersebut, mengindikasikan bahwa budi pekerti mengacu pada sikap dan perilaku seseorang maupun masyarakat yang mengedepankan norma dan etika. Pendidikan akuntansi yang ber budi pekerti adalah usaha sadar penanaman/internalisasi nilai-nilai akhlak/moral dalam sikap dan prilaku manusia peserta didik agar memiliki sikap dan prilaku yang luhur (akhlakul karimah) dalam keseharian baik dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungan. Secara konsepsional Pendidikan Budi Pekerti merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya di masa yang akan datang atau pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan perilaku peserta didik agar mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, seimbang lahir batin, jasmani-rohani, material-spiritual, individu-sosial dan dunia-akhirat.

Dalam tataran operasional menurut Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan (Pusbangkurandik), pendidikan budi pekerti adalah upaya untuk membentuk peserta didik yang tercermin dalam kata, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, dan hasil karya berdasarkan nilai, norma dan moral luhur bangsa Indonesia melalui kegiatan bimbingan, pelatihan dan pengajaran. Menurut Pusbangkurandik, Balitbang dikbud pendidikan budi pekerti dikategorikan menjadi tiga komponen yaitu:
1)Keberagamaan, terdiri dari nilai-nilai; (a) kekhusukan hubungan dengan Tuhan, (b) kepatuhan kepada Agama, (c) niat baik dan keikhlasan, (d) perbuatan baik, (e) pembalasan atas perbuatan baik dan buruk.
2)Kemandirian, terdiri dari nilai-nilai; (a) harga diri, (b) disiplin, (c) etos kerja (kemauan untuk berubah, hasrat mengejar kemajuan, cinta ilmu, teknologi dan seni), (d) rasa tanggung jawab, (e) keberanian dan semangat, (f) keterbukaan, (g) pengendalian diri.
3)Kesusilaan, terdiri dari nilai-nilai; (a) cinta dan kasih sayang, (b) kebersamaan, (c) kesetiakawanan, (d) tolong-menolong, (e) tenggang rasa, (f) hormat menghormati, (g) kelayakan (kapatuhan), (h) rasa malu, (i) kejujuran dan (j) pernyataan terima kasih, permintaan maaf (rasa tahu diri).

Pada dasarnya ada tiga ranah yang populer dikalangan dunia pendidikan yang menjadi lapangan garapan pembentukkan kepribadian peserta didik.
Pertama, kognitif, mengisi otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada tahap-tahap berikutnya dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat memfungsi akalnya menjadi kecerdasan intelegensia.
Kedua, afektif, yang berkenaan dengan perasaan, emosional, pembentukan sikap di dalam diri pribadi seseorang dengan terbentuknya sikap, simpati, antipati, mencintai, membenci,
dan lain sebagainya. Sikap ini semua dapat digolongkan sebagai kecerdasan emosional.
Ketiga, psikomotorik, adalah berkenaan dengan aktion, perbuatan, prilaku, dan seterusnya.

Apabila disinkronkan ketiga ranah tersebut dapat disimpulkan bahwa dari memiliki pengetahuan tentang sesuatu, kemudian memiliki sikap tentang hal tersebut dan selanjutnya berprilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya dan apa yang disikapinya.
Pendidikan budi pekerti, adalah meliputi ketiga aspek tersebut. Seseorang mesti mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk. Selanjutnya bagaimana seseorang memiliki sikap terhadap baik dan buruk, dimana seseorang sampai ketingkat mencintai kebaikan dan membenci keburukan. pada tingkat berikutnya bertindak, berprilaku sesuai dengan nilai-nilai kebaikan, sehingga muncullah akhlak dan budi pekerti mulia.

“Love the Lord, your God, with all your heart, all your soul and all your mind”

Dengan melihat pendidikan akuntansi sebagai pendidikan akhlak dan pendidikan Budi pekerti di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan akuntansi berdasarkan akhlak dan budi pekerti adalah pendidikan yang menitik beratkan pada ranah afeksi dan psikomotor siswa, yang dalam proses pembelajaran sering terabaikan. Kedua jenis pendidikan ini merupakan jenis pendidikan yang harapan akhirnya adalah terwujudnya peserta didik yang memiliki integritas moral yang mampu direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berinteraksi denganTuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungan.


Catatan Akhir
Saya pun ingin mengungkapkan melalui tulisan ini bahwasannya “takut akan Tuhan adalah permulaan dari segala ilmu.” Sebagai orang yang percaya atas keberadaan Tuhan yang nyata dalam kehidupan manusia, saya ingin mengatakan bahwa segala akhlak, segala moral, segala etika, segala kebaikan, segala cinta kasih, adalah suatu bentuk kehendak yang sumbernya dari Tuhan demi terwujudnya sebuah keseimbangan bagi segala apek kehidupan di muka bumi ini.
Seiring dengan perubahan dan dinamika masyarakat yang terus bergerak menuju arus globalisasi, problem dan tantangan yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan akuntansi makin rumit dan kompleks. Pendidikan akuntansi tidak hanya dituntut untuk mampu melahirkan generasi-generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga diharapkan dapat menciptakan generasi bangsa yang cerdas secara emosional dan spiritual. Dengan kata lain, pendidikan akuntansi dituntut untuk mampu melahirkan generasi yang “utuh” dan “paripurna”. Namun, melahirkan generasi yang “utuh” dan “paripurna” semacam itu bukanlah pekerjaan yang mudah.
Tidak sedikit orang yang tidak puas terhadap keberadaan akuntansi saat ini. Akuntansi dianggap hanya ilmu alat sebagai peninggalan penjajahan (Belanda) di Indonesia masa lalu. Ditambah lagi, begitu banyaknya skandal yang dilatar belakangi akuntansi yang mencuat dipermukaan publik saat ini, sebut saja pernah ada kasus Enron, dan ada lagi skandal Gayus Tambunan dalam kasus mafia pajak terbesar saat ini di Indonesia dan lain sebagainya.
Pada dasarnya, pendidikan akuntansi adalah pendidikan yang terkait dengan tanggung jawab atau mempertanggungjawabkan sesuatu. Diakui atau tidak, selama bertahun-tahun dunia akuntansi sebagai salah satu aspek pendidikan, seakan terpasung di persimpangan jalan, tersisih di antara hiruk-pikuk dan ingar-bingar ambisi penguasa yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Pendidikan akuntansi seolah tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara “utuh” dan “paripurna”, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti. Pendidikan akuntansi lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, emosi, dan spiritual. Akibatnya, apresiasi output pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani, menjadi nihil.
Akhir kata, “menanam benih yang baik, tentu akan menuai hasil yang baik pula. Apapun yang sifatnya demi kebaikan berdasarkan “the power of love” adalah apa yang diwajibkan Tuhan sebagai jalan yang benar. Keberadaan Tuhan dalam dunia pendidikan akuntansi adalah mutlak. Membangun sebuah kecerdasan spiritual yang berlandaskan kecerdasan hati, perasaan, emosi, dan spiritual yang rohaniah dalam akuntansi adalah jembatan menuju pencapaian kehendak Tuhan bagi segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan akuntansi menuju keseimbangan segala aspek. Semoga.



1 komentar :

TAKDIR TAMHER mengatakan...

Bro...klo ada contoh kasus untuk pemda mengenai akuntansi akrual (pp 71 tahun 2010)bisa di share, sa lgi butuh... :-)

Posting Komentar