Rabu, 24 Juni 2009

KRITIK TERHADAP MAHASISWA FEKON UNCEN SEBAGAI KAUM INTELEKTUAL (Oleh; ANTO’ KUDDY_AKT ‘05)

Sadarkah kita, setelah bertahun-tahun Reformasi berkumandang dengan segala proporsi yang di miliki, katakanlah kita dalam lingkungan kampus Fekon saja ternyata masih segelintir orang saja yang mampu memahami betul betapa penting dirinya sebagai mahasiswa dalam lingkungan di mana ia berada.

Pemahaman yang sangat konyol adalah ketika ada di antara kita yang
mengartikan mahasiswa itu adalah sebagai anak SMU yang di bebaskan untuk merokok!!!

Setiap manusia telah diajari bahwa kebajikan tertinggi bukanlah untuk mencapai sesuatu, melainkan untuk memberikan sesuatu. Di Indonesia Mahasiswa selalu identik dengan kristisme ketika sejarah telah mencatatnya dalam membongkar kebobrokan rezim Soeharto hingga menjatuhkannya. Di kandangnya sendiri pun (kampus) Mahasiswa selalu tampak mengritisi segala kebijakan dari pihak rektorat jika dianggap tidak adil dan berbau KKN, dan biasanya kritisme mahasiswa terwujud dalam aksi protes atau demo. Adalah sangat menarik dan perlu jika kita kaji siapa sebenarnya mahasiswa itu! “IKATLAH ILMU DENGAN MENULISKANNYA” adalah sebuah hadits yang sudah sering kita dengar. Tetapi dari hadits ini, saya punya ide cemerlang untuk meluruskannya. Sekali lagi, ‘Ikatlah Ilmu Dengan Menuliskannya’, bagaimana kalau kita tambahkan dengan tidak hanya ilmu itu dituliskan diatas secarik kertas, sekedar memahami dan menghafalkannya, namun perlu ilmu itu kita diskusikan dan aplikasikan guna memperoleh nilai output sekaligus nilai waris yang maksimal. SEPAKAT?

Kembali ke Mahasiswa tadi, dalam tulisan yang saya lukiskan sembari mengerjakan beberapa pekerjaan kantor di tengah kegiatan magang, dan (MAAF) beberapa menit yang saya korupsi untuk sejenak memikirkan tentang predikat mahasiswa yang paling terkenal yakni dikatakan bahwa mahasiswa adalah sebagai “kaum intelek”, Saya tidak yakin akan predikat itu, maka saya mendapatkan satu pemahaman yang lewat dalam benak saya akan arti mahasiswa itu tadi, Begini pemahaman saya! Mahasiswa adalah kaum intelek, Apakah itu benar?

Atribut pertama ini adalah atribut yang paling terkenal. Sangatlah lucu dan malu bagi saya dan anda bila sering mendengarkan kata intelek namun tidak paham apa maksud dari kata intelek itu sendiri. Di sini, mahasiswa menggambarkan dirinya sebagai kaum intelek yang mana bercirikan “cara pikir dewasa, pergaulan luas, bersikap kritis, dan berwawasan tinggi ”. Setiap ayam pasti berasal dari telur. Begitu pula dengan “kaum intelek“. Kaum ini logikanya dihuni oleh pribadi-pribadi intelek. Namun, siapa sih sebenarnya yang mengesahkan bahwa “Ya, kamu intelek!” ? Jawabannya adalah tidak lain dan tidak bukan: MAHASISWA itu sendiri!!

Apabila anda telah sadar bahwa anda memiliki hak predikat sebagai kaum intelek, sekarang pertanyaannya adalah “Apakah anda kaum intelek yang sesungguhnya?” Mungkin jawabannya muncul ketika anda melakukan flashback tentang “Apa sih yang sudah anda sumbangsikan buat kampus Fekon kita ini?” Apa coba’!. Apakah dengan acuh tak acuh dengan pergerakan organisasi kampus, apakah dengan terlalu menyibukkan diri terhadap kegiatan organisasi sehingga kerap kegiatan kuliah dalam kelas terbengkalai, Apakah dengan unjuk pamer bergaya/berpenampilan semenarik mungkin hingga mendapat perhatian dan pujian dari teman2, tidak saling bertegur sapa antar kita yang beda genk, beda angkatan, beda jurusan, atau yang bagaimana! Apakah dengan terbiasa berbicara menggunakan kata-kata intelek seperti; melankolis, simalakama, kapitalis, vokal, kutub empiris, kutub historis, terminologi ilmiah, disikapi, sikap bipolar, utopia (Banyak kita mahasiswa Fekon mencoba membiasakan diri dengan kata-kata tinggi seperti ini guna terlihat keintelektualannya sebagai mahasiswa. Tapi sadarkah kita, terkadang kita menggunakan kata-kata ini namun ternyata tidak tepat penggunaanya terhadap kalimat yang kita ajukan). Lucu//

Sebuah ironi lagi, “Sambil menyelam minum air”, mungkin itulah pribahasa yang kini mewakili secuil realita yang ada di antara kita mahasiswa Fekon. Sambil belajar tentang bisnis sambil kita pun ada yang mengaplikasikannya untuk berbisnis secara nyata. Bagaimana tidak! Adapun beberapa dari kita yang ternyata sudah lebih dulu hebat membuka usaha sebagai tempat/sarang pembukingan oleh om-om yang menginginkan perhatian lebih dari tangan mungil para gadis2 muda, (MAAF dengan kasar) cukup dengan bermodalkan tubuh dan harga dirinya sebagai produk berkualitas tinggi, maka keuntungannya dengan sediri uang dan segala kebanggaan semu pun akan mengalir secara deras, bangga naik mobil mewah, megang hp canggih yang nyata2 bukan miliknya bahkan bukan pemberian dan di luar sepengetahuan orang tuanya, MALU KA…/

(Jika anda salah satunya, saya dengan sangat bangga mengacungkan Jempol terbalik buat anda)

Kalau ternyata memang anda kaum intelek, bukankah anda dan saya seharusnya bisa menyadari bahwa ada ironi2 di balik sikap idealis kita? Kita selalu menuntut pemerintah untuk tidak bersikap memaanfaatkan uang rakyat, sementara kita sendiri asyik memanfaatkan uang orang tua dan berbangga diri atas teman-teman kita yang kurang beruntung untuk dapat kursi di universitas lantaran kita menggunakan orang dalam. Aneh? Yah, begitulah. Mahasiswa sebenarnya masih punya title hebat yang lain, yakni “MAHASISWA SEBAGAI PEMBAWA PERUBAHAN”, namun sayangnya kenyataan mahasiswa sebagai ‘Agent of Change’ ini mulai pudar seiring dengan jalannya waktu. Lihat saja setelah beberapa tahun reformasi dikumandangkan, sikap mahasiswa yang menghargai betapa pedih dan beratnya reformasi itu diraih, kini telah hampir punah. Menurut saya predikat ini lebih pantas diberikan kepada angkatan mahasiswa di periode tahun ’96-’99. Karena selain mereka adalah para pelopor, mereka pula yang paling paham akan predikat mahasiswa sebagai pambawa perubahan tadi. Kita sih angkatan2 terbaru dengan sangat nikmatnya menghirup udara reformasi secara gratis, sehingga kita kerap tidak menyadari bahwa kita sebenarnya tidak pantas mendapat predikat itu di mata masyarakat. Kalau anda Tanya kenapa, mungkin jawabannya akan muncul ketika anda flashback lagi akan diri anda tentang ‘Apa sih yang sudah anda sumbangsikan buat kampus Fekon kita ini? Apakah cukup dengan rajin mambayar Uang SPP, Apakah cukup dengan gemar membaca di perpustakaan ,Apa dengan gemar minjam kamar kost teman biar seks bebasnya lebih aman, bangga memamerkan kekayaan orang tua di hadapan teman-teman Ataukah dengan gemar mendiskriminasikan para mahasiswa Junior? (sepucuk realita)

Sama sekali tidak ada maksud mendeskriminasikan salah satu pihak, hanya harapan demi kebaikan kita bersama yang perlu untuk diingatkan kembali. Kenapa tulisan ini saya buat? Karena saya sudah cukup alergi dengan stereotype kita sebagai mahasiswa Fekon yang penuh dengan karakteristik superfisial alias MUNAFIK///

Saya sepakat dengan salah satu tulisan yang pernah secara tidak sengaja saya baca (maaf saya lupa alamat blognya) dimana dikatakan bahwa, sebaiknya kita tidak perlu muluk-muluk menginginkan predikat yang tinggi-tinggi kalau pada kenyataannya justru malah menjadikan kita sebagai mahasiswa yang tidak bermakna. Mungkin akan lebih pas bila mahasiswa di artikan sebagai RAKYAT, Kenapa? Mahasiswa boleh saja memiliki berbagai macam status dan latar belakang, akan tetapi pada dasarnya mahasiswa memiliki satu kesamaan yang sama, yakni mahasiswa adalah bagian dari rakyat Indonesia, Mahasiswa berhutang pada rakyat, mahasiswa mampu belajar karena sebagian besar biaya rakyat, dan berada pada sorotan senter kemasyarakatan. Jadi, masih berani bilang mahasiswa (Anda & Saya) itu kaum intelek?



SEMOGA/////