Sabtu, 07 Januari 2012

Desentralisasi = Panacea?

Beberapa penelitian telah mengingatkan mengenai risiko penggunaan desentralisasi sebagai “panacea” dalam memecahkan masalah pembangunan dan pelayanan publik di negara sedang berkembang, yang cenderung menyederhanakan masalah (Andersson, Gibson and Lehoucq 2004). Segelintir peneliti mulai mempertanyakan asumsi yang mengklaim bahwa desentralisasi dapat memperbaiki pemberian pelayanan di tingkat lokal (Agrawal and Gibson 1999; Larson 2002; Andersson dkk, 2004; Deininger and Mpuga 2005). Sementara peneliti yang lain seperti Andrews dan Vries (2007) yang membuktikan bahwa pengalaman Brazil, Rusia, Jepang, dan Swedia dalam melaksanakan desentralisasi ternyata menghasilkan pengalaman yang berbeda terkait dengan dampaknya terhadap partisipasi publik. Memang tidak semua negara mengalami kemajuan setelah melaksanakan desentralisasi. Di beberapa negara desentralisasi justru telah membuka kesempatan untuk “rent-seeking” dan korupsi (Treisman 2000; Oyono 2004, Tambulasi dan Kayuni, 2007).
Di Indonesia, desentralisasi fiskal dan otonomi daerah mulai hangat dibicarakan sejak bergulirnya era reformasi pasca runtuhnya tembok kekuasaan pemerintahan orde baru. Era reformasi menjadi titik tolak bergesernya paradigma sentralisasi yang dianut Orde Baru ke era desentralisasi. Sistem pemerintahan sentralistis yang selama ini dianut pemerintahan presiden Soeharto dianggap tidak mampu membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat luas sehingga memunculkan tuntutan kewenangan yang lebih besar dari daerah untuk melaksanakan pembangunan. Tuntutan ini kemudian melahirkan undang-undang otonomi daerah, yaitu UU no. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dan sekaligus menjadi awal era baru desentralisasi fiskal di Indonesia yang kemudian selanjutnya direvisi dalam UU Nomor 33 tahun 2004 yang menyatakan pengertian desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Kuncoro, 2009). Ini artinya desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab (akan fungsi-fungsi publik) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin maupun investasi (Litvack, 1999). UU ini memberikan kewenangan kepada daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan. Bagian yang menjadi urusan Pemerintah Pusat hanya meliputi Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal, serta Agama. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ditandai dengan proses pengalihan sumber keuangan bagi daerah dalam jumlah yang sangat signifikan. Pada awal desentralisasi fiskal, transfer ke daerah berupa Dana Perimbangan (DAPER) hanya sebesar Rp. 81,1 triliun, dan meningkat sebesar 16,8 persen ditahun 2002 menjadi Rp. 94,7 triliun. Tahun 2006 Dana Perimbangan mencapai Rp. 222,2 triliun atau meningkat sebesar 55,2 persen dari tahun sebelumnya. Sampai tahun 2008, besarnya dana perimbangan telah mencapai Rp. 278,7 triliun.
Sejatinya otonomi daerah lahir sebagai upaya untuk membongkar sentralisme kekuasaan (centralism of power) terutama dalam hal tata relasi pusat dan daerah. Artinya, desentralisasi dan demokratisasi menghendaki adanya pemencaran kekuasaan. Karena kekuasaan yang terlalu besar, akan disalahgunakan dan cenderung korup (power tends to corrupt absolut power tends to corrupt absolutly). Oleh karenanya desentralisasi dalam konteks Indonesia diyakini sebagai sebuah cara untuk membangun pemerintahan yang efektif, mengembangkan pemerintahan yang demokratis, menghargai keragaman lokal, menghormati dan mengembangkan potensi masyarakat lokal, serta memelihara integrasi nasional dan masyarakat menaruh harapan besar terhadap otonomi daerah agar bisa membawa perubahan-perubahan dalam sistem bernegara. Namun, sayangnya pada ranah implementasi, pelaksanaan otonomi daerah justru jauh panggang dari api. Hasil evaluasi pelaksanaan otonomi daerah oleh berbagai kalangan, termasuk LIPI (2007) dan UNDP (2008), memperlihatkan bahwa agenda ini lebih menunjukkan kegagalan daripada wujud kesuksesannya.

Setelah diterapkan, evaluasi kebijakan desentralisasi fiskal memunculkan beberapa fakta yaitu maraknya kasus korupsi oleh Kepala daerah dan anggota DPRD hampir diseluruh daerah. Selanjutnya pemekaran daerah yang terjadi dimana sekarang ada 502 Dati II dan 33 Dati I. Kemudian adanya tumpang tindih peran pemerintah daerah akibat ketidakpastian dalam pengelolaan dana perimbangan. Ditambah lagi ternyata desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi melalui dampak tidak langsung desentralisasi yang menyebabkan instabilitas makroekonomi dan menjadi salah satu bahaya yang akan muncul kepermukaan.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa adanya desentralisasi fiskal akan meningkatkan instabilitas makroekonomi daerah. Secara umum, perubahan kewenangan sebagai akibat dari pelaksanaan desentralisasi fiskal, akan mempengaruhi kemampuan pemerintah pusat melakukan kebijakan dan koordinasi ekonomi makro. Untuk negara sedang berkembang, kebijakan desentralisasi cenderung akan memperbesar masalah di bidang makroekonomi. Berkurangnya kewenangan pemerintah pusat pada sejumlah pengendalian anggaran belanja akan banyak mengurangi ruang geraknya untuk mengadakan pelayanan dan koordinasi aspek ekonomi publik secara langsung, sehingga pengendalian variabel ekonomi makro di tingkat sub-nasional cenderung menurun. Di sisi lain adanya pelimpahan wewenang dan orientasi pemerintah daerah terhadap kepentingan lokal mengakibatkan pola hubungan antara daerah dan pusat kurang kooperatif (Tanzi, 1995).
Dalam negara yang terdesentralisasi, pemerintah pusat bertanggung jawab secara eksklusif terhadap kebijakan fiskal. Di dalam negara yang terdesentralisasi, kebijakan fiskal menjadi tanggung jawab yang dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Beberapa peneliti KPPOD (2004) mempunyai argumentasi, bahwa keuangan pemerintahan daerah lebih suka untuk memperhatikan tujuan-tujuan daerah dalam pemanfaatan sumber dayanya, misal-nya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) cenderung melakukan ekstensifikasi retribusi dan pajak daerah. Tanzi (1995) juga memperhatikan adanya kebijakan defisit anggaran dan melakukan kebijakan utang sebagai penyebab adanya pemicu instabilitas makro ekonomi daerah. Adanya kebebasan peminjaman oleh daerah otonom, memungkinkan pemerintah daerah memiliki kelebihan utang yang melampaui kapasitas pengembalian kewajibannya. Kedua hal tersebut bisa meningkatkan inflasi sehingga akan mengakibatkan bertambahnya instabilitas makroekonomi.

Dari beberapa paparan tersebut, dapat dilihat terjadinya ketidakefektifan dalam penyelenggaraan desentralisasi fiskal di Indonesia. Beberapa penyebab ketidakefektifan ini adalah pengelolaan dana perimbangan yang kurang tepat sasaran, seperti alokasi dana DAU, DAK dan DBH yang kurang memberikan hasil maksimum.




Kepemimpinan Spiritual: Mewujudkan Sang “The Man Behind The Gun”

Betapa sulit sekarang ini menemukan pemimpin yang benar-benar mumpuni, yang jujur dan yang berjuang demi dan untuk kesejahteraan masyarakat. Menjadi pemimpin tidak sekedar menjadi anutan dan model, tetapi melayani dan memberikan yang terbaik untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam Alkitab Matius, 23:11 Yesus menegaskan, bahwa: “menjadi pemimpin dalam masyarakat berarti menjadi pelayan yang memperjuangkan kepentingan masyarakat, menegakkan keadilan dan kebenaran, memperjuangkan kesejahteraan masyarakat”.

Alkitab menyatakan bahwa “hati” adalah pusat dari kehidupan (Ulangan 6:5; Mat 22:37). Hati adalah “rumah kehidupan”, di mana kesadaran seseorang bertahta, sebab itu hati mempengaruhi pikiran, kehidupan dan karakter seseorang. Dalam Kitab Markus 7: 21-23, Yesus mengatakan: “sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.” Oleh karenanya, untuk membentuk hati seorang manajer publik dalam rangka upaya pencapaian birokrasi yang baik dan bersih, hendaklah dimulai dengan sebuah konsep kepemimpinan spiritual yang bisa dipandang sebagai cara memimpin yang mampu mengilhami, membangkitkan, mempengaruhi, dan menggerakkan jiwa seseorang melalui keteladanan, pelayanan, kasih sayang, dan implementasi nilai dan sifat-sifat ketuhanan dalam tujuan, proses, budaya, dan perilaku kepemimpinan di dalam birokrasi pemerintah daerah, dalam rangka melipat gandakan etika dan moralitas religius seorang manusia yang dalam hal ini para manajer/pemimpin birokrasi pemerintah baik di pusat maupun di daerah.

Dalam mewujudkan pribadi-pribadi seorang pemimpin birokrasi yang bernilai, beretika, berprinsip, berkeyakinan, bermoral dan beriman secara utuh dalam pencapaian kriteria dasar akan visi akhirat yang jelas, maka kuncinya adalah sebuah formula falsafah dasar spiritual sebagaimana yang dinyatakan oleh Bambang (2007) dalam karyanya “Built to Bless” yaitu sebagai berikut:

Spiritual Value(S)=Man (M) x Creator (C) x Creation (C)

Spiritual Values tercapai bila setiap anggota dalam jajaran birokrasi (Man = Manusia) melakukan usahanya dengan fokus pada Penciptanya (Creator =Tuhan), mengakui Tuhan adalah sebagai shareholder sekaligus sebagai soulholders, mereka adalah pengelola, dan melakukan kontribusi yang memberkati (Blessing) pada semua mahluk ciptaan (Creation = sesama manusia dalam hal ini masyarakat publik) sehingga keduanya (Creator dan Creation) bahagia. Ya...“bahagia”, bukankah mewujudkan bangsa yang bahagia adalah cita-cita dari bangsa Indonesia? Ingat bahwa Tuhan tidak menghendaki sebuah Birokrasi yang gagal.

Beberapa studi terakhir mengemukakan bahwa kepemimpinan spiritual diyakini bisa menjadi salah satu solusi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh setiap lembaga/instansi. Kepemimpinan spiritual merupakan kepemimpinan yang membawa dimensi keduniawian kepada dimensi spiritual (keilahian). Tuhan diyakini sebagai pemimpin sejati yang mengilhami, mencerahkan, membersihkan nurani, dan memenangkan jiwa hambaNya melalui pendekatan etis dan keteladanan.

Sifat utama yang tampak dari kepemimpinan spiritual ialah cara memimpin yang mampu mengilhami, membangkitkan, mempengaruhi, dan menggerakkan melalui keteladanan, pelayanan, kasih sayang, dan implementasi nilai dan sifat-sifat ketuhanan lainnya dalam tujuan, proses, budaya, dan perilaku kepemimpinan di manapun dan sampai kapan pun. Kepemimpinan spiritual dapat pula disebut dengan kepemimpinan berdasarkan etika religius.

Studi Tasmara (2006), mengemukakan bahwa kepemimpinan berbasis spiritual mampu memberikan "kesuksesan" kepada organisasi bisnis di Indonesia. Studi tersebut disusun sebagai wujud sumbangan terhadap kajian kepemimpinan global yang tokoh-tokohnya ketika masuk ke Indonesia tidak menampilkan wajah budaya bangsa Indonesia dan tidak pula bersifat spiritual. Di lain pihak, muncul keprihatinan menyaksikan bahwa para pemimpin muda Indonesia sepertinya "minder" untuk bersaing dalam global leadership. Akibatnya beberapa posisi strategis, konsultan, dan tenaga ahli lainnya seakan-akan hanya dapat dijabat oleh orang asing. Persepsi bahwa orang asing lebih kompeten dan berpengalaman masih melekat dalam benak para pengambil keputusan organisasi bisnis di Indonesia.
Studi yang serupa juga pernah dilakukan tim psikolog dan agamawan di Yogyakarta pada tahun 2004. Mereka menyusun penelitian yang berjudul "Prophetic Intelligence: Construct Development and Empirical Test for Its Role in the Perception of Unethical Conduct among Indonesian Government Employees" dengan temuan antara lain bahwa intervensi melalui manajemen inteligensi profetik/kenabian efektif untuk membuat persepsi para peserta pelatihan transformasi budaya kepemimpinan (pejabat pemerintah daerah tingkat II) terhadap tindakan tidak etis dalam organisasi berubah dari menganggap wajar menjadi tidak wajar (Adz-Dzakiy dkk, 2004).

Dari berbagai studi di atas mengindikasikan bahwa kepemimpinan spiritual mampu menyumbangkan perubahan dan kemajuan untuk oraganisasi. Untuk menggerakkan orang dapat disentuh melalui sisi-sisi spiritualnya, dan bukan selalu harus dengan dimensi material. Oleh sebab itu, kini para pelaku dan praktisi di berbagai organisasi atau lembaga mengusung model-model kepemimpinan spiritual untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya masing-masing.

Yang utama yang harus kita tekankan bahwa siapapun yang diberikan wewenang dalam menjalankan roda kepemerintahan, dia tetap milik Tuhan, hamba Tuhan, dan saksi Tuhan yang hendaknya memperdalam dan memperindah (depth and beauty) landasan yang berada di atas etika dan moral standar yakni melalui unsur spiritualitas yang bersumber pada tata nilai keimanan yang disebut keyakinan (belief). Oleh karenanya, menurut penulis bahwa fondasi spiritual bukan hanya menyentuh aspek organisasi dan institusi tapi mencakup pribadi (human). Fondasinya bukan hanya sekedar Values, Ethics dan Principles (VEP) dalam bentuk budaya dan sistim organisasi, tapi Belief (Keyakinan), Morality (Moralitas) dan Iman (Faith) sehingga melalui ketiga unsur ini tentu akan menciptakan pribadi atau manusia-manusia bahkan pelaku-pelaku/pemimpin-pemimpin birokrasi selaku 'the man behind the gun' yang diharapkan dapat menjadi lilin-lilin kecil di tengah belantara gelapnya kerakusan dan ketamankan dalam manajemen keuangan rakyat yang berimplikasi terhadap ketidakseimbangan manusia itu sendiri, serta menjadi penerang bagi kesejahteraan bersama menuju era terang benderang, menuju cita-cita bangsa dalam mewujudkan pancasila sebagai idiologi bangsa, menuju harapan bangsa dari 'Ghost Governance', menjadi "Good Governance', dan akhirnya berkulminasi dalam suatu kondisi yang disebut 'Good Citizen'.