Sabtu, 07 Januari 2012

Kepemimpinan Spiritual: Mewujudkan Sang “The Man Behind The Gun”

Betapa sulit sekarang ini menemukan pemimpin yang benar-benar mumpuni, yang jujur dan yang berjuang demi dan untuk kesejahteraan masyarakat. Menjadi pemimpin tidak sekedar menjadi anutan dan model, tetapi melayani dan memberikan yang terbaik untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam Alkitab Matius, 23:11 Yesus menegaskan, bahwa: “menjadi pemimpin dalam masyarakat berarti menjadi pelayan yang memperjuangkan kepentingan masyarakat, menegakkan keadilan dan kebenaran, memperjuangkan kesejahteraan masyarakat”.

Alkitab menyatakan bahwa “hati” adalah pusat dari kehidupan (Ulangan 6:5; Mat 22:37). Hati adalah “rumah kehidupan”, di mana kesadaran seseorang bertahta, sebab itu hati mempengaruhi pikiran, kehidupan dan karakter seseorang. Dalam Kitab Markus 7: 21-23, Yesus mengatakan: “sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.” Oleh karenanya, untuk membentuk hati seorang manajer publik dalam rangka upaya pencapaian birokrasi yang baik dan bersih, hendaklah dimulai dengan sebuah konsep kepemimpinan spiritual yang bisa dipandang sebagai cara memimpin yang mampu mengilhami, membangkitkan, mempengaruhi, dan menggerakkan jiwa seseorang melalui keteladanan, pelayanan, kasih sayang, dan implementasi nilai dan sifat-sifat ketuhanan dalam tujuan, proses, budaya, dan perilaku kepemimpinan di dalam birokrasi pemerintah daerah, dalam rangka melipat gandakan etika dan moralitas religius seorang manusia yang dalam hal ini para manajer/pemimpin birokrasi pemerintah baik di pusat maupun di daerah.

Dalam mewujudkan pribadi-pribadi seorang pemimpin birokrasi yang bernilai, beretika, berprinsip, berkeyakinan, bermoral dan beriman secara utuh dalam pencapaian kriteria dasar akan visi akhirat yang jelas, maka kuncinya adalah sebuah formula falsafah dasar spiritual sebagaimana yang dinyatakan oleh Bambang (2007) dalam karyanya “Built to Bless” yaitu sebagai berikut:

Spiritual Value(S)=Man (M) x Creator (C) x Creation (C)

Spiritual Values tercapai bila setiap anggota dalam jajaran birokrasi (Man = Manusia) melakukan usahanya dengan fokus pada Penciptanya (Creator =Tuhan), mengakui Tuhan adalah sebagai shareholder sekaligus sebagai soulholders, mereka adalah pengelola, dan melakukan kontribusi yang memberkati (Blessing) pada semua mahluk ciptaan (Creation = sesama manusia dalam hal ini masyarakat publik) sehingga keduanya (Creator dan Creation) bahagia. Ya...“bahagia”, bukankah mewujudkan bangsa yang bahagia adalah cita-cita dari bangsa Indonesia? Ingat bahwa Tuhan tidak menghendaki sebuah Birokrasi yang gagal.

Beberapa studi terakhir mengemukakan bahwa kepemimpinan spiritual diyakini bisa menjadi salah satu solusi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh setiap lembaga/instansi. Kepemimpinan spiritual merupakan kepemimpinan yang membawa dimensi keduniawian kepada dimensi spiritual (keilahian). Tuhan diyakini sebagai pemimpin sejati yang mengilhami, mencerahkan, membersihkan nurani, dan memenangkan jiwa hambaNya melalui pendekatan etis dan keteladanan.

Sifat utama yang tampak dari kepemimpinan spiritual ialah cara memimpin yang mampu mengilhami, membangkitkan, mempengaruhi, dan menggerakkan melalui keteladanan, pelayanan, kasih sayang, dan implementasi nilai dan sifat-sifat ketuhanan lainnya dalam tujuan, proses, budaya, dan perilaku kepemimpinan di manapun dan sampai kapan pun. Kepemimpinan spiritual dapat pula disebut dengan kepemimpinan berdasarkan etika religius.

Studi Tasmara (2006), mengemukakan bahwa kepemimpinan berbasis spiritual mampu memberikan "kesuksesan" kepada organisasi bisnis di Indonesia. Studi tersebut disusun sebagai wujud sumbangan terhadap kajian kepemimpinan global yang tokoh-tokohnya ketika masuk ke Indonesia tidak menampilkan wajah budaya bangsa Indonesia dan tidak pula bersifat spiritual. Di lain pihak, muncul keprihatinan menyaksikan bahwa para pemimpin muda Indonesia sepertinya "minder" untuk bersaing dalam global leadership. Akibatnya beberapa posisi strategis, konsultan, dan tenaga ahli lainnya seakan-akan hanya dapat dijabat oleh orang asing. Persepsi bahwa orang asing lebih kompeten dan berpengalaman masih melekat dalam benak para pengambil keputusan organisasi bisnis di Indonesia.
Studi yang serupa juga pernah dilakukan tim psikolog dan agamawan di Yogyakarta pada tahun 2004. Mereka menyusun penelitian yang berjudul "Prophetic Intelligence: Construct Development and Empirical Test for Its Role in the Perception of Unethical Conduct among Indonesian Government Employees" dengan temuan antara lain bahwa intervensi melalui manajemen inteligensi profetik/kenabian efektif untuk membuat persepsi para peserta pelatihan transformasi budaya kepemimpinan (pejabat pemerintah daerah tingkat II) terhadap tindakan tidak etis dalam organisasi berubah dari menganggap wajar menjadi tidak wajar (Adz-Dzakiy dkk, 2004).

Dari berbagai studi di atas mengindikasikan bahwa kepemimpinan spiritual mampu menyumbangkan perubahan dan kemajuan untuk oraganisasi. Untuk menggerakkan orang dapat disentuh melalui sisi-sisi spiritualnya, dan bukan selalu harus dengan dimensi material. Oleh sebab itu, kini para pelaku dan praktisi di berbagai organisasi atau lembaga mengusung model-model kepemimpinan spiritual untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya masing-masing.

Yang utama yang harus kita tekankan bahwa siapapun yang diberikan wewenang dalam menjalankan roda kepemerintahan, dia tetap milik Tuhan, hamba Tuhan, dan saksi Tuhan yang hendaknya memperdalam dan memperindah (depth and beauty) landasan yang berada di atas etika dan moral standar yakni melalui unsur spiritualitas yang bersumber pada tata nilai keimanan yang disebut keyakinan (belief). Oleh karenanya, menurut penulis bahwa fondasi spiritual bukan hanya menyentuh aspek organisasi dan institusi tapi mencakup pribadi (human). Fondasinya bukan hanya sekedar Values, Ethics dan Principles (VEP) dalam bentuk budaya dan sistim organisasi, tapi Belief (Keyakinan), Morality (Moralitas) dan Iman (Faith) sehingga melalui ketiga unsur ini tentu akan menciptakan pribadi atau manusia-manusia bahkan pelaku-pelaku/pemimpin-pemimpin birokrasi selaku 'the man behind the gun' yang diharapkan dapat menjadi lilin-lilin kecil di tengah belantara gelapnya kerakusan dan ketamankan dalam manajemen keuangan rakyat yang berimplikasi terhadap ketidakseimbangan manusia itu sendiri, serta menjadi penerang bagi kesejahteraan bersama menuju era terang benderang, menuju cita-cita bangsa dalam mewujudkan pancasila sebagai idiologi bangsa, menuju harapan bangsa dari 'Ghost Governance', menjadi "Good Governance', dan akhirnya berkulminasi dalam suatu kondisi yang disebut 'Good Citizen'.



Tidak ada komentar :

Posting Komentar