Sabtu, 07 Januari 2012

Hakekat Pemimpin Spiritual Selaku “Tangan Kanan Tuhan”

Melihat kecenderungan terjadinya penurunan kualitas perilaku kepemimpinan nasional, demikian pula dalam birokrasi pemerintahan, ditandai dengan terjadinya berbagai tingkah laku negatif, seperti: saling hujat, fitnah, provokasi, agitasi pengikutnya, pengingkaran kebenaran, saling jegal, dan lain-lain (Sedarmayanti, 2009). Sebagai pemimpin bangsa tidak mencegah pengikutnya dalam melakukan pelanggaran konstitusi, norma agama, adat, sosial, dan etika profesi, bahkan norma hukum dan tata pergaulan bernegara diterjang tanpa malu. Mereka seakan tidak peka lagi terhadap berbagai aspirasi masyarakat, tidak tahu bahwa rakyat memerlukan ketentraman, kenyamanan, dan keadilan, bukan wacana politik yang meruncing dan memanaskan situasi. Mungkin mereka tidak pernah mendengar sebuah ungkapan bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Lebih lanjut Sedarmayanti (209) menyatakan bahwa untuk menghadapi masalah pelik dan kompleks yang terjadi pada dekade terakhir ini, bangsa Indonesia memerlukan kepemimpinan berkualitas dan peduli rakyat. Rakyat mendambakan terobosan baru dalam kepemimpinan, mengininkan agar berbagai konflik berupa perebutan kekuasaan yang saling menjatuhkan antara pemerintah dan legislative dapat diakhiri secara arif, bahkan keduanya diharapkan dapat bersinergi dalam memecahkan masalah besar dan kompleks yang dihadapi bangsa.

Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi orang lain seperti yang ia lihat (Thoha, 1993). Pemimpin itu ibarat pohon yang tinggi. Ia dilihat dan dinilai oleh semua orang. Ia juga ditiup oleh angin kepentingan kesana dan kemari. Sebab itu salah satu sifat yang paling dituntut dari setiap pemimpin adalah kejujuran. Indonesia adalah tanah yang diberkati Allah, Indonesia adalah tempat berpijaknya kaki Allah dan hati jantungnya Allah, untuk membangun Indonesia tidak membutuhkan kekuatan, membangun Indonesia tidak membutuhkan kepintaran, membangun Indonesia juga tidak membutuhkan harta dan kekayaan. Akan tetapi untuk membangun Indonesia butuh putra-putri Indonesia yang mendapat wahyu dan tongkat kepemimpinan dari Allah dalam rencana Allah membangun Indonesia baru.

Peribahasa Cina mengatakan, bahwa ikan itu busuk mulai dari kepalanya. Peribahasa ini hendak mengatakan, bahwa kebusukan dan pembusukan dalam masyarakat itu dimulai oleh dan dari para pemimpinnya. Jika seorang pemimpin yang korup, maka itu adalah tanda-tanda mulainya proses pembusukan dalam masyarakat. Kalau para pemimpinnya korup maka masyarakat juga akan menjadi masyarakat yang korup. Sebab itu tugas dan tanggungjawab seorang pemimpin tidaklah sekedar memimpin, melainkan memberi teladan yang baik bagi masyarakatnya. Jadi sebenarnya yang paling bertanggungjawab atas kemerosotan dan kebobrokan moral masyarakat, adalah para pemimpinnya yang korup itu. Sebab itu adalah sungguh tidak adil, ketika kemerosotan moral yang terjadi dalam masyarakat ditimpakan kepada masyarakat, dengan tuduhan bahwa masyarakat sudah tidak lagi menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Justru para pemimpin dan penguasa itulah yang mulai melakukan pembusukan dan kebusukan. Hal inilah yang menjadi salah satu krisis yang harus dihadapi oleh rakyat Indonesia, yaitu krisis moral dan kepercayaan terutama pada mereka yang diberi kepercayaan oleh rakyat untuk menjadi pemimpin pada hampir semua profesi. Krisis-krisis tersebut mengakibatkan krisis kepercayaan rakyat terhadap para pemimpinnya karena para pemimpin belum berhasil membawa bangsa ini keluar dari krisis multidimensi yang berkepanjangan.

Kualitas pemimpin tidak ditentukan oleh besar atau kecil hasil yang dicapainya, tetapi ditentukan oleh kemampuan pemimpin mencapai hasil tersebut dengan perantaraan orang lain, yaitu melalui pengikut-pengikutnya, serta pengaruh yang dipancarkan oleh pemimpin terhadap pengikutnya. Robert Kelley, seorang profesor di bidang bisnis dan konsultan serta pelopor pengajaran Followership and Leadership, dalam bukunya : The Power of Followership (1992) mengungkapkan hasil penelitiannya yang dilakukan selama tujuh tahun bahwa para pengikut (followers) ternyata mampu memberikan kontribusi sebanyak 80 persen bagi keberhasilan setiap proyek, sedangkan pemimpin (leader) memberikan kontribusi 20 persen. Pemimpin harus mampu menggerakkan pengikutnya agar mereka bekerja dengan semangat dan memiliki komitmen untuk mencapai keberhasilan tugas.

Adapun filosofi kepemimpinan Musa dinilai dalam Alkitab, Bilangan 12:3. Musa adalah Meek or Humble yaiu merupakan seorang yang lemah lembut hatinya lebih dari setiap orang yang ada di atas muka bumi, sabar, rendah hati, jujur, sederhana dan tegas." Keberhasilan Musa menjalankan kepemimpinan yang Rohani bagi bangsa Israel lewat Meek dan Humble membuat Musa sanggup menghadapi tantangan, rintangan dalam kepemimpinannya, yaitu; (1) Menghadapi Firaun ketika akan keluar dari Mesir (2) Memimpin kurang lebih 600 ribu orang Israel melewati Padang Gurun 40 tahun (3) Menghadapi Keluarganya sendiri kakak beradiknya Harun dan Mariam.

Ingin diberkati adalah keinginan yang wajar, ingin menjadi berkat bagi orang lain adalah keingginan yang mulia. kadang-kadang…. apa yang harus engkau kerjakan adalah kembali ke awal dan melihat segalanya dalam sebuah cara pandang yang baru (Jim Collin, 2001). Jadi ketika apa yang kita pandang dirasa “sesak” karena adanya ketidakseimbangan dalam hidup sebagai hasil dari ketamakan dan kerakusan manusia yang cenderung mementingkan diri sendiri tanpa mepertanggungjawabkan apa yang dilakukan maka dapat dipastikan serta perlunya ruang lain yang memberikan kekuatan baru untuk memperbaiki apa yang telah dirusak, yaitu “Strenght of Leadership Spirituality .” Melalui sang pemimpin yang berada dalam genggaman spiritual hendaknya dapat berperan sebagai pembina, sebagai bapak, sebagai guru dan mitra terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Intinya bahwa dalam kaitannya dengan paradigma spiritualitas, maka landasan filosofis yang harus dibangun dalam konsep pelaksanaan birokrasi adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya. Sukarsa (2010) mengatakan ada tiga hal penting dalam membangun jiwa spiritual yaitu membuat pekerjaan lebih bermakna, menghormati kemampuan dan kreativitas karyawan, dan membuat dunia sebagai tempat yang lebih nyaman.

Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap para pemimpin harus menyadari bahwa mereka adalah wakil Allah di bumi, ketika Allah ditolak eksistensinya maka segalanya menjadi sia-sia. Sebagaimana tertera di dalam Injil/Alkitab bahwa;


“Tidak ada pemerintahan yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah”

(Injil, Roma 13:1).

Selanjutnya tertulis;


“Allah adalah terang dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan”

(Injil, 1 Yohanes 1:5b).

Dalam konteks ini, sejalan dengan Triyuwono (2003) yang menyatakan bahwa manusia seolah-olah mengikat kontrak dengan Tuhan. Dalam kontrak tersebut Tuhan sebagai (The Ultimate Principal) menugaskan manusia untuk menyebarkan rahmat/kesejahteraan (dalam bentuk ekonomi, sosial, spiritual, politik, dan lain-lainnya) pada manusia yang lain (stakeholders) dan alam (natural environment). Ayat di atas mengisyaratkan bahwa para pemimpin (manajer publik) adalah sebagai “perpanjangan tangan kanan Tuhan di dunia” untuk menjadikan seluruh jemaat/rakyat (seluruh manusia ciptaan-Nya) makmur dan sejahtera. Pemimpin spiritual akan meyakini dalam dirinya bahwa uang yang dikelola adalah uang yang diamanatkan Allah untuk mensejahterakan rakyat. Melalui gaya kepemimpinan spiritual, diharapkan agar tingkat moralitas seorang manusia (manajer/agen publik sebagai penyelenggara pemerintahan baik di pusat maupun di daerah) akan semakin tinggi dan berlipat ganda dan kepemipinan spiritual hendaknya dibangun tidak hanya dalam konsepsi hubungan manusia dengan manusia, tetapi juga dalam konsepsi hubungan antara manusia dengan Tuhannya (Sang Pencipta), dimana segala aktifitas apapun akan melibatkan kehadiran “pihak ketiga” (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi sebuah bagian integral dari setiap pihak dalam menjalankan birokrasi, dalam rangka mensejahterakan rakyat. Karena birokrasi yang dijalankan secara kepemimpinan spiritual tidak semata-mata orientasi dunia tetapi memiliki visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan merebaknya tindak KKN yang mengakar pada bangsa ini dapat teredamkan. Pemimpin birokrasi yang diberikan amanat oleh Allah untuk mensejahterakan rakyat (umat Allah di bumi) dengan mengedepankan gaya kepemimpinan spiritual hendaknya akan menjadi lilin-lilin kecil di tengah belantara gelapnya manajemen keuangan rakyat yang berimplikasi terhadap pelayanan publik yang buruk, kebocoran anggaran, membudayanya korupsi, kolusi dan nepotisme serta menjadi penerang bagi rakyat menuju era terang benderang.



Tidak ada komentar :

Posting Komentar