Kamis, 14 Juli 2011

Akuntan Spiritualis: Sebuah Refleksi dari Sila Ke-Tuhanan yang Maha Esa

Dari segi nilai yang terkandung dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dapat disebutkan bahwa sila pertama ini merupakan dasar kerohanian dan dasar bermasyarakat dalam kehidupan bernegara. Berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara dalam segala aspek wajib memperhatikan dan menghormati petunjuk-petunjuk Tuhan Yang maha Esa, dan tidak dibenarkan menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah digariskan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kemudian untuk menyelenggarakan segala yang baik bagi masyarakat dan pemerintahan negara. Pada hakekatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagian rakyat dan keselamatan masyarakat.

Ketika ada suatu paradigma yang mengatakan bahwa “urusan Tuhan, ya urusan Tuhan, dan urusan dunia, ya urusan dunia, jangan dicampuradukan.” Dalam hal ini penulis ingin mengatakan bahwa, paradigma yang demikian merupakan suatu pandangan yang sekuler dan perlu diingat bahwa negara Indonesia bukan negara sekuler, tetapi negara yang berasaskan “Pancasila” yang dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara dalam segala aspeknya wajib memperhatikan dan menghormati petunjuk-petunjuk Tuhan Yang maha Esa, dan tidak dibenarkan menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah digariskan. Negara kita memang bukan negara agama tapi jauh lebih dari pada itu karena negara kita sesuai UUD 1945 adalah negara yang lahir berdasarkan rahmat Tuhan yang Maha Esa dan berdasar pada Ketuhaanan Yang Maha Esa. “Bukan saja bangsa Indonesia yang Bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan” (Soekarno, 1945).

Menurut saya bahwa pijakan pada Idiologi Pancasila dan pijakan pada Idiologi sekuler merupakan dua hal yang berseberangan, bukan saling mendukung. Keduanya seperti air dengan minyak. Mulawaran (2008) menyatakan bahwa sekularisasi berarti memisahkan kepentingan dunia dari seluruh kepentingan religius. Oleh karena itu, nilai-nilai yang terkandung dalam Idiologi Pancasila jauh lebih hebat dari pada idiologi-idiologi yang ada di muka bumi ini selama ada elaborasi terhadap kedalaman kandungan makna dari Pancasila itu sendiri, karena semakin dalam cara kita memahami sesuatu (Pancasila) maka semakin mutu objektifitas Pancasila itu tampak semakin mencorong (kelihatan) dan Idiologi Pancasila justru hanya ada satu, yaitu di Indonesia. Idiologi berdasarkan pancasila adalah Idiologi yang landasan filosofisnya dibangun tidak hanya dalam konsepsi hubungan manusia dengan manusia, tetapi juga dalam konsepsi hubungan antara manusia dengan Tuhannya (Sang Pencipta), dimana segala aktifitas apapun akan melibatkan kehadiran “pihak ketiga” (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap pihak dalam menjalankan profesi, terutama bagi profesi akuntan. Karena profesi akuntan yang pancasilais adalah profesi yang dijalankan secara spiritual dan tidak semata-mata orientasi dunia tetapi memiliki visi akhirat yang jelas.
Berbanding terbalik dengan sekulerisme yang ada, yaitu hanya bagaimana supaya kekayaan dan keuntungan yang diperolehnya lebih besar dan tidak perlu dipertanyakan apakah dalam proses mendapatkannya dilakukan dengan halal atau haram seperti menurut kriteria agama. Oleh karena itu kita tidak heran jika sering disebutkan bahwa akuntansi sebagai bagian dari alat membantu mendapatkan harta dan keuntungan material adalah bebas nilai dalam arti tidak mengenal baik dan buruk. Bahkan menurut Friedman (1979) sepanjang suatu entitas bisnis mampu memberikan keuntungan dengan cara yang ditempuhnya maka dapat dikatakan lembaga itu telah memenuhi tanggungjawab sosialnya dan tidak perlu dinilai apakah entitas itu menerapkan nilai etika atau tidak.

Oleh karena itu jelas bahwa bagi bangsa Indonesia, etika profesi akuntan yang dirumuskan ke dalam Kode Etik Akuntan harus mengacu pada konsep “Ketuhanan” sebagaimana termuat dalam nilai pancasila yang pertama dan utama, bukan lepas seperti halnya faham sekuler. Etika yang diperkuat oleh keyakinan kepada agama dan Tuhan, diharapkan agar tingkat moralitas seorang manusia (dalam hal ini seorang akuntan) akan semakin tinggi dan berlipat ganda.

Di dalam etika profesi akuntan yang pancasilais tentu akan menghargai adanya cinta kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, keadilan, kejujuran, kebersamaan dan penguasaan diri yang kesemuanya itu ditanamkan secara mendalam sebagai wujud konsep kekuatan Spiritualitas (Strenght of Spirituaity) bagi seluruh aspek di bumi (termasuk aspek dunia profesi akuntan) dan dengan hal itu maka kecemaran, ketamakan, hawa nafsu, penyembahan berhala (uang), perseturuan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri akan terhindarkan. Yang utama yang harus kita tekankan bahwa siapapun yang berprofesi (dalam hal ini profesi akuntan), dia tetap milik Tuhan, hamba Tuhan, dan saksi Tuhan yang hendaknya memperdalam dan memperindah (depth and beauty) landasan berprofesi yang berada di atas etika dan moral standar yakni melalui unsur spiritualitas yang bersumber pada tata nilai keimanan yang disebut keyakinan (belief).

Mengembalikan akuntan pada fitrahnya adalah pilihan yang tepat saat ini. TUHAN adalah jembatan utamanya, yang siap menjembatani setiap manusia dalam segala aspeknya untuk kembali ke fitrahnya. TUHAN yang akan memandu manusia untuk memperbaiki segala kekacauan yang telah terjadi di bumi yang kemudian akan mewujudkan keseimbangan dunia dalam segala aspek dalam pengembangan suatu tujuan. TUHAN sebagai pribadi yang menjamin bahwa manusia yang bertindak baik demi kewajiban etika dan moral akan memperoleh kebahagiaan sempurna. Jika TUHAN ditolak eksistensinya, maka kesemuanya tidak memiliki arti apa-apa.

Spiritualitas terkandung jelas di dalam Pancasila dan pilar Spiritual merupakan “angin segar” serta “harapan baru” yang tidak terlepas dari amanat untuk pelaksanaan profesi akuntan yang baik dan beretika secara utuh. Artinya pada satu sisi bahwa pilar spiritualitas bisa kita maknai sebagai “extension of the hand GOD” atau perpanjangan tangan Tuhan di dunia” yaitu sebagai perpanjangan amanat Tuhan terhadap wakil Tuhan (profesi akuntan) di dunia untuk mewujudkan kehendak, maksud dan tujuan Tuhan di dunia yaitu menjadikan seluruh jemaat (seluruh manusia ciptaan-Nya) makmur dan sejahtera.

Fondasi Spiritual bukan hanya menyentuh aspek organisasi dan institusi tapi mencakup pribadi (human). Fondasinya bukan hanya sekedar Values, Ethics dan Principles (VEP) dalam bentuk budaya dan sistim organisasi, tapi Belief (Keyakinan), Morality (Moralitas) dan Iman (Faith) sehingga melui BMF ini tentu akan menciptakan pribadi atau manusia-manusia bahkan akuntan-akuntan selaku 'the man behind the gun'.

Untuk mewujudkan profesi akuntan yang bernilai, beretika, berprinsip, berkeyakinan, bermoral dan beriman secara utuh dalam pencapaian kriteria dasar akan visi akhirat yang jelas, maka kuncinya adalah sebuah formula falsafah dasar spiritual (Paulus Bambang) yakni:

Spiritual Value(S)=Man (M) x Creator (C) x Creation (C)

Spiritual Values tercapai bila setiap anggota dalam jajaran KAP (Man = Akuntan) melakukan usahanya dengan fokus pada Penciptanya (Creator =Tuhan), mengakui Tuhan adalah sebagai shareholder sekaligus sebagai soulholders, mereka adalah pengelola, dan melakukan kontribusi yang memberkati (Blessing) pada semua mahluk ciptaan (Creation = sesama manusia dalam hal ini masyarakat publik) sehingga keduanya (Creator dan Creation) bahagia. Ya...“bahagia”, bukankah mewujudkan bangsa yang bahagia adalah cita-cita dari pancasila?

Tuhan tidak menghendaki sebuah profesi yang gagal. Hendaknya melalui pilar spiritualitas, maka akan tercipta pula akuntan-akuntan yang pancasilais sebagaimana yang diamanatkan oleh bangsa kita. Melalui pilar spiritualitas ini maka pijakan dunia profesi akuntan di bumi akan melibatkan sekaligus menomor satukan kehadiran Tuhan dalam Kode Etik Profesi Akuntan Publik sebagai kitab suci/pedoman bagi para akuntan, sehingga para profesi akuntan diharapkan dapat menjadi lilin-lilin kecil di tengah belantara gelapnya keraskusan dan ketamankan yang berimplikasi terhadap ketidakseimbangan manusia itu sendiri , yang menjadi penerang bagi kesejahteraan bersama menuju era terang benderang, menuju cita-cita bangsa dalam mewujudkan pancasila, menuju harapan bangsa dari 'Ghost Governance', menjadi "Good Governance', lalu meningkat lagi menjadi 'Good Company' dan akhirnya berkulminasi dalam suatu kondisi yang disebut 'Good Citizen'.


Relevansi Rumusan Etika Profesi Akuntan di Mata Idiologi Pancasila Terbuka: Mewujudkan Kemandirian Bangsa

Bagi negara Indonesia, kerangka etika profesi telah dikodifikasikan ke dalam kode etik IAI. Ludigdo (2006) menyatakan bahwa etika profesi akuntan di Indonesia, isi dan substansinya hampir “fully adopted” dari kode etik yang dikembangkan oleh negara-negara Barat (Amerika) yang memiliki dimensi budaya terutama dari segi nilai-nilai masyarakat dan akar budaya yang berbeda dengan Indonesia. Ini berarti bahwa kode etik profesi akuntan secara mentah-mentah ditelan oleh bangsa Indonesia tanpa filter yang memperhatikan tingkat kesesuaian kebutuhan dan kondisi dimensi-dimensi yang berakar pada perkembangan masyarakat bangsa. Lebih lanjut Ludigdo (2006) menyatakan bahwa jika nilai-nilai masyarakatnya berbeda, maka tentu nilai-nilai kehidupannya pun akan berbeda pula. Oleh karenanya tentu hal ini akan berimplikasi pada rumusan kode etik akuntan di Indonesia yang tidak dapat menjadi panduan yang compatible, dan hanya sekedar sebagai simbol tak bermakna bagi kalangan profesional akuntan. Sehingga pada akhirnya, ini menuai sebuah pertanyaan oleh Ludigdo dalam SNA Akuntansi 9, tahun 2006 (Strukturasi Praktik Etika di Kantor Akuntan Publik: Sebuah Studi Interpretif), “apakah pola “sekedar” mengadopsi standar etika dari negara lain dengan dimensi budaya yang sama sekali berbeda dapat dilanjutkan”?

Ketika mengacu pada kedalaman makna Pancasila, maka perlu dipahami terlebih dahulu bahwa negara dengan Idiologi Pancasila bukan berarti negara seperti hidup membiara serta selibat sepi dalam keheningan batin, duduk diam tanpa kata yang jauh dari keramaian dunia (tertutup). Melainkan pancasila justru dipandang sebagai idiologi yang terbuka. Karena betapa kokohnya suatu ideologi, bila tidak memiliki dimensi fleksibelitas atau keterbukaan, maka akan mengalami kesulitan bahkan mungkin kehancuran dalam menanggapi tantangan zaman.

Bung Karno pernah mengatakan, “kebangsaan kita adalah kebangsaan yang punya wawasan internasionalisme, sehingga tentu kita tidak perlu khawatir karena kita pasti akan mampu mengantisipasi booming globalisasi selama ada persatuan”. Ini berarti bahwa Ideologi Pancasila bukanlah idiologi yang tertutup, tetapi justru dituntut harus mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi zaman yang terus mengalami perubahan, serta memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya. Akan tetapi perlu diingat, ini harus dilakukan secara kreatif, artinya diharapkan bahwa Pancasila dalam kedudukannya sebagai Ideologi negara mampu menjadi filter dalam menyerap pengaruh perubahan jaman di era globalisasi dengan memperhatikan tingkat kesesuaian kebutuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia sendiri. Bukan berarti bahwa dengan mengikuti pengaruh luar, maka nilai dasar Pancasila dapat diganti dengan nilai dasar lain atau menghilangkan (meniadakan) serta mengingkari hakekat (jati diri) bangsa Indonesia.

Oleh karenanya untuk melakukan suatu upaya adopsi terhadap kode etik akuntan publik yang dibangun atas dasar rasionalisme sekuler bagi Indonesia bukanlah hal tidak dibenarkan, selama hal ini dilakukan secara kreatif (inovatif adoption) tanpa ditelan secara mentah-mentah. Sehingga, peranan filterisasi (penyaringan) harus dilibatkan. Perlu ada penyesuaian tingkat kebutuhan dan kondisi atas dimensi-dimensi yang berakar pada perkembangan masyarakat bangsa terutama nilai budaya dan kepercayaan sebagai faktor yang paling kuat mempengaruhi sistem bangsa Indonesia. Dengan kata lain, yang baik diambil dan yang buruk (tidak sesuai) tidak diikutsertakan.

Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun setidaknya melalui implmentasi sejak dini, tentu ini secara perlahan dan otomatis akan mewujudkan suatu rumusan pedoman kode etik profesi yang mandiri dimasa yang akan datang, artinya walaupun rumusan-rumusan etika ini adalah rumusan-rumusan yang berakar dari budaya yang dibangun atas rasionalisasi sekuler, namun secara replikatif telah disaring sesuai dengan latar belakang nilai budaya dan nilai kepercayaan (spiritual) sebagai nilai-nilai luhur yang tercermin dalam idiologi Pancasila sebagai idiologi terbuka, sehingga menjadi layak.


Refleksi Sikap Mental Independensi, Integritas dan Objektifitas Seorang Akuntan dalam Metafora “Batu Karang yang teguh”

Dalam menjalankan tugasnya, seorang akuntan (anggota KAP) harus selalu mempertahankan sikap mental independen didalam memberikan jasa profesional sebagaimana tercermin dalam rumusan kode etik akuntan publik serta diatur dalam standar profesional akuntan publik yang ditetapkan oleh IAI dan sikap mental independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in appearance). Dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP juga harus mempertahankan integritas dan objektivitas, harus bebas dari benturan kepentingan (conflict of interst) dan tidak boleh membiarkan faktor salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan (mensubordinasikan) pertimbangannya kepada pihak lain. Sehubungan dengan hal tersebut, maka membangun landasan etika profesi akuntan di atas “batu karang yang tertancap dalam” (teguh), dapat dijadikan sebuah metafora untuk memberi lukisan dari kekokohan jiwa seorang akuntan dalam mempertahankan dan menjaga sikap independen, integritas dan objektivitas.

Anggaplah ada sebuah batu karang besar yang dapat digunakan sebagai landasan/fondasi rumah. Bagaimana cara untuk membangun rumah di atasnya? Bagaimana meletakkan landasan di sana? Caranya membangun adalah dengan menggali dalam-dalam tanah, hingga meraih batu karang yang tertancap didalamnya. Setelah meraihnya, masih harus memahat dan menggali kedalaman batu untuk dapat meletakkan landasan bagi rumah diatasnya. Tentu Berat, sulit, memakan waktu yang lama, membutuhkan tenaga yang besar dan harus mau bekerja keras serta pantang menyerah. Batu menjadi pilihan karena batu adalah fondasi yang keras dan kuat. Rumah yang dibangun di atasnya tidak mudah goyah pada saat datang banjir atau angin.

Pembangun rumah yang bijak, tangguh dan kokoh diibaratkan sebagai jiwa yang membangun rumahnya dengan menggali ke dalam batu, bukannya ke dalam lumpur. Sedangkan pembangun rumah yang bodoh, tidak tangguh dan tidak kokoh diibaratkan sebagai jiwa yang membangun rumahnya di atas pasir, dimana sifat pasir mudah digali, mudah tergerus air, dan mudah bergeser karena angin. Akan sangat mudah untuk menggali pasir. Namun menggali batu, yaitu menggali sampai dalam adalah pekerjaan yang sangat berat. Pikirkan saja berapa lama waktu yang harus dipakai untuk memahat, sambil berlumuran dengan keringat, sementara di sebelah sana pembangun rumah yang membangun rumahnya di atas pasir tidak perlu membuang banyak tenaga untuk menggali. Ia tinggal memasang balok, papan dan memaku di sana sini, dan tidak lama setelah itu, rumahnya sudah jadi! Tetapi pembangun rumah yang membangun di atas batu karang itu masih bersusah payah mengerjakan fondasinya.

Pembangun rumah yang membangun rumahnya di atas pasir sudah selesai membangun rumahnya duduk-duduk sambil minum kopi di bawah pohon. Dia sudah menyelesaikan rumahnya sejak lama, sementara yang satu lagi masih berkutat dengan urusan menggali batu, dengan kemajuan yang sedikit demi sedikit. Akan tetapi pembangun rumah yang bijak ini tidak sekadar membuat satu lubang kecil saja di batu itu. Ia menggali sampai sedalam-dalamnya. Dan pembangun bodoh yang sok pintar itu akan berkata, "Anda benar-benar memboroskan tenaga. Lihat! Aku begitu santai dan nyaman, tapi Anda malah mempersulit hidup Anda sendiri." Pepatah mengatakan bahwa yang tertawa terakhir adalah yang paling berbahagia. Dan sang pembangun rumah yang landasan rumahnya diatas pasir ini sudah tertawa duluan.

Setelah kedua rumah ini selesai. Perbedaan kedua rumah itu terletak pada dasarnya. Dilihat dari luar mungkin tampak sama baik dan indah, namun berbeda dalam hal kekuatan dan kualitasnya. Ini hanya bisa dilihat jika diselidiki dengan membongkar lantainya, atau setelah rumah itu roboh. Ketika badai datang, angin bertiup dan banjir melanda rumah yg didirikan diatas pasir tadi, maka rubuhlah rumahnya tersapu dan hebatlah kerusakannya. Orang yang membangun rumahnya di atas pasir hanyut terbawa air sambil berteriak-teriak, "Tolong, tolong!" Saat itu, ia mungkin akan dihempaskan ke batu atau hanyut sampai ke laut. Akan tetapi orang yang membangun di atas batu karang yang teguh tetap selamat; tidak terjadi sesuatu apapun padanya karena ia membangun di atas dasar atau landasan (fondasi) yang tangguh dan kokoh.

Pembangun rumah yang bijaksana memikirkan tujuan jangka panjang. Dia memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu akan datang hujan, angin dan banjir, yang dapat merobohkan rumah jika rumah tidak kokoh. Maka ia harus membangun rumah di atas “batu karang yang teguh” supaya rumah itu kokoh. Meskipun memerlukan waktu yang lama, tetap akan ditempuhnya karena ia mau memakai rumah itu untuk jangka waktu yang lama. Apa yang telah dikorbankannya tidak akan sia-sia.

Dengan perpektif ini, jelas akan menggambarkan kehidupan seorang akuntan dalam menjalankan profesinya mengingat profesi akuntan saat ini yang mendapat sorotan yang cukup tajam dari publik, sebagai implikasi dari beberapa pelanggaran etika yang dilakukan oleh profesi akuntan sebagaimana tercermin pada skandal-skandal keuangan yang menguakkan tabir gelap sisi dari Ghost Corporate Governance. Pembangun yang bijaksana direfleksikan sebagai seorang akuntan dalam menjalankan profesi dan tanggungjawabnya. Kemudian “Batu karang yang teguh” yang direfeksikan sebagai ketangguhan serta kekokohan iman seorang akuntan yang bersandar pada konsepsi “Keuhanan” untuk tidak goyah (kuat) selayaknya sebagai fondasi/landasan. Sehingga “rumah” yang direfleksikan sikap mental seorang akuntan dalam mempertahankan dan menjaga independensi, integritas pribadi dan objektivitas yang dibangun diatas batu karang yang teguh tentunya tidak akan bergeser dari fondasinya meskipun badai datang, angin bertiup dan banjir melanda iman (rumah) seorang akuntan dalam mempertahankan dan menjaga sikap mental indepensi, integritas dan objektifitasnya. Dasar yang kuat tentu akan membangun kehidupan (tanggungjawab profesi akuntan) yang kuat, tidak akan mudah goyah imannya, dan siap setiap saat menghadapi berbagai persoalan yang berat. Hasilnya adalah keselamatan. Oleh karena itu cita-cita bangsa, yaitu cita-cita Pancasila untuk mewujudkan pribadi akuntan sebagai salah satu amanat rakyat/pubik yang berdiri tangguh dan kokoh diatas fondasi batu karang yang teguh merupakan perwujudan akan tercapainya transparansi publik dan akuntabilitas sebagai upaya pencapaian Good Governance yang beretika, beradab, bijak, jujur, adil, dan bermartabat.


“Strength Of Ideology Pancasila” Sebagai Sumber Nilai Etika Profesi Akuntan; Refleksi Atas Pendekatan Spiritualism

Abstrak

Ketika profesi akuntan mendapat sorotan yang cukup tajam dari masyarakat, sebagai implikasi dari beberapa pelanggaran etika yang dilakukan oleh profesi akuntan sebagaimana tercermin pada skandal-skandal keuangan yang menguakkan tabir gelap sisi dari Ghost Corporate Governance, maka etika, ahklak, beradab dan bijak secara utuh menjadi suatu tuntutan yang utama bagi para akuntan dalam menjalankan profesinya saat ini.

Di Indonesia, seorang akuntan dalam menjalankan profesinya, hendaknya tidak sebatas ketundukan mereka terhadap Undang-Undang serta Kode Etik Akuntan semata, tetapi juga memiliki tanggung jawab atas idiologi bangsa dalam mewujudkan lima prinsip dalam Pancasila yang merupakan cita-cita dari para founding father bangsa Indonesia, karena di dalam lima prinsip tersebut terdapat “lima perasaan” yang mengalir dalam kalbu bangsa Indonesia.

“Akuntan Pancasilais” yaitu akuntan yang memiliki jiwa yang tangguh (kokoh) selayaknya “rumah berfondasikan batu karang yang teguh” dalam mempertahankan dan menjaga sikap independen, integritas dan objektivitas, serta tanggungjawab moral yang bersandar pada nilai spiritualitas bangsa, karena akuntan yang pancasilais mengemban “lima perasaan bangsa” yang menuntun para akuntan-akuntan tersebut untuk menjadi akuntan yang berketuhanan, akuntan yang berperikemanusiaan dan beradab, akuntan berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan serta akuntan yang berkeadilan di dalam ranah persatuan bangsa

Tulisan ini mencoba merefleksikan bagaimana etika profesi akuntan hendaknya mengacu kepada konsep “Ketuhanan” sebagaimana yang termuat pada nilai-nilai “Pancasila” yang pertama dan utama, bukan lepas seperti halnya faham sekuler, karena etika yang diperkuat oleh keyakinan untuk melibatkan kehadiran “pihak ketiga” (Tuhan), diharapkan agar tingkat moralitas dan etika seorang akuntan akan semakin tinggi dan berlipat ganda sehingga memiliki visi akhirat yang jelas. Jika Tuhan ditolak eksistensinya, maka semuanya akan menjadi sia-sia.

Kata Kunci: Profesi Akuntan, Etika, Spiritualitas, dan Pancasila.