Kamis, 14 Juli 2011

Relevansi Rumusan Etika Profesi Akuntan di Mata Idiologi Pancasila Terbuka: Mewujudkan Kemandirian Bangsa

Bagi negara Indonesia, kerangka etika profesi telah dikodifikasikan ke dalam kode etik IAI. Ludigdo (2006) menyatakan bahwa etika profesi akuntan di Indonesia, isi dan substansinya hampir “fully adopted” dari kode etik yang dikembangkan oleh negara-negara Barat (Amerika) yang memiliki dimensi budaya terutama dari segi nilai-nilai masyarakat dan akar budaya yang berbeda dengan Indonesia. Ini berarti bahwa kode etik profesi akuntan secara mentah-mentah ditelan oleh bangsa Indonesia tanpa filter yang memperhatikan tingkat kesesuaian kebutuhan dan kondisi dimensi-dimensi yang berakar pada perkembangan masyarakat bangsa. Lebih lanjut Ludigdo (2006) menyatakan bahwa jika nilai-nilai masyarakatnya berbeda, maka tentu nilai-nilai kehidupannya pun akan berbeda pula. Oleh karenanya tentu hal ini akan berimplikasi pada rumusan kode etik akuntan di Indonesia yang tidak dapat menjadi panduan yang compatible, dan hanya sekedar sebagai simbol tak bermakna bagi kalangan profesional akuntan. Sehingga pada akhirnya, ini menuai sebuah pertanyaan oleh Ludigdo dalam SNA Akuntansi 9, tahun 2006 (Strukturasi Praktik Etika di Kantor Akuntan Publik: Sebuah Studi Interpretif), “apakah pola “sekedar” mengadopsi standar etika dari negara lain dengan dimensi budaya yang sama sekali berbeda dapat dilanjutkan”?

Ketika mengacu pada kedalaman makna Pancasila, maka perlu dipahami terlebih dahulu bahwa negara dengan Idiologi Pancasila bukan berarti negara seperti hidup membiara serta selibat sepi dalam keheningan batin, duduk diam tanpa kata yang jauh dari keramaian dunia (tertutup). Melainkan pancasila justru dipandang sebagai idiologi yang terbuka. Karena betapa kokohnya suatu ideologi, bila tidak memiliki dimensi fleksibelitas atau keterbukaan, maka akan mengalami kesulitan bahkan mungkin kehancuran dalam menanggapi tantangan zaman.

Bung Karno pernah mengatakan, “kebangsaan kita adalah kebangsaan yang punya wawasan internasionalisme, sehingga tentu kita tidak perlu khawatir karena kita pasti akan mampu mengantisipasi booming globalisasi selama ada persatuan”. Ini berarti bahwa Ideologi Pancasila bukanlah idiologi yang tertutup, tetapi justru dituntut harus mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi zaman yang terus mengalami perubahan, serta memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya. Akan tetapi perlu diingat, ini harus dilakukan secara kreatif, artinya diharapkan bahwa Pancasila dalam kedudukannya sebagai Ideologi negara mampu menjadi filter dalam menyerap pengaruh perubahan jaman di era globalisasi dengan memperhatikan tingkat kesesuaian kebutuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia sendiri. Bukan berarti bahwa dengan mengikuti pengaruh luar, maka nilai dasar Pancasila dapat diganti dengan nilai dasar lain atau menghilangkan (meniadakan) serta mengingkari hakekat (jati diri) bangsa Indonesia.

Oleh karenanya untuk melakukan suatu upaya adopsi terhadap kode etik akuntan publik yang dibangun atas dasar rasionalisme sekuler bagi Indonesia bukanlah hal tidak dibenarkan, selama hal ini dilakukan secara kreatif (inovatif adoption) tanpa ditelan secara mentah-mentah. Sehingga, peranan filterisasi (penyaringan) harus dilibatkan. Perlu ada penyesuaian tingkat kebutuhan dan kondisi atas dimensi-dimensi yang berakar pada perkembangan masyarakat bangsa terutama nilai budaya dan kepercayaan sebagai faktor yang paling kuat mempengaruhi sistem bangsa Indonesia. Dengan kata lain, yang baik diambil dan yang buruk (tidak sesuai) tidak diikutsertakan.

Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun setidaknya melalui implmentasi sejak dini, tentu ini secara perlahan dan otomatis akan mewujudkan suatu rumusan pedoman kode etik profesi yang mandiri dimasa yang akan datang, artinya walaupun rumusan-rumusan etika ini adalah rumusan-rumusan yang berakar dari budaya yang dibangun atas rasionalisasi sekuler, namun secara replikatif telah disaring sesuai dengan latar belakang nilai budaya dan nilai kepercayaan (spiritual) sebagai nilai-nilai luhur yang tercermin dalam idiologi Pancasila sebagai idiologi terbuka, sehingga menjadi layak.


1 komentar :

Xclmedia mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar