Kamis, 14 Juli 2011

Refleksi Sikap Mental Independensi, Integritas dan Objektifitas Seorang Akuntan dalam Metafora “Batu Karang yang teguh”

Dalam menjalankan tugasnya, seorang akuntan (anggota KAP) harus selalu mempertahankan sikap mental independen didalam memberikan jasa profesional sebagaimana tercermin dalam rumusan kode etik akuntan publik serta diatur dalam standar profesional akuntan publik yang ditetapkan oleh IAI dan sikap mental independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in appearance). Dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP juga harus mempertahankan integritas dan objektivitas, harus bebas dari benturan kepentingan (conflict of interst) dan tidak boleh membiarkan faktor salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan (mensubordinasikan) pertimbangannya kepada pihak lain. Sehubungan dengan hal tersebut, maka membangun landasan etika profesi akuntan di atas “batu karang yang tertancap dalam” (teguh), dapat dijadikan sebuah metafora untuk memberi lukisan dari kekokohan jiwa seorang akuntan dalam mempertahankan dan menjaga sikap independen, integritas dan objektivitas.

Anggaplah ada sebuah batu karang besar yang dapat digunakan sebagai landasan/fondasi rumah. Bagaimana cara untuk membangun rumah di atasnya? Bagaimana meletakkan landasan di sana? Caranya membangun adalah dengan menggali dalam-dalam tanah, hingga meraih batu karang yang tertancap didalamnya. Setelah meraihnya, masih harus memahat dan menggali kedalaman batu untuk dapat meletakkan landasan bagi rumah diatasnya. Tentu Berat, sulit, memakan waktu yang lama, membutuhkan tenaga yang besar dan harus mau bekerja keras serta pantang menyerah. Batu menjadi pilihan karena batu adalah fondasi yang keras dan kuat. Rumah yang dibangun di atasnya tidak mudah goyah pada saat datang banjir atau angin.

Pembangun rumah yang bijak, tangguh dan kokoh diibaratkan sebagai jiwa yang membangun rumahnya dengan menggali ke dalam batu, bukannya ke dalam lumpur. Sedangkan pembangun rumah yang bodoh, tidak tangguh dan tidak kokoh diibaratkan sebagai jiwa yang membangun rumahnya di atas pasir, dimana sifat pasir mudah digali, mudah tergerus air, dan mudah bergeser karena angin. Akan sangat mudah untuk menggali pasir. Namun menggali batu, yaitu menggali sampai dalam adalah pekerjaan yang sangat berat. Pikirkan saja berapa lama waktu yang harus dipakai untuk memahat, sambil berlumuran dengan keringat, sementara di sebelah sana pembangun rumah yang membangun rumahnya di atas pasir tidak perlu membuang banyak tenaga untuk menggali. Ia tinggal memasang balok, papan dan memaku di sana sini, dan tidak lama setelah itu, rumahnya sudah jadi! Tetapi pembangun rumah yang membangun di atas batu karang itu masih bersusah payah mengerjakan fondasinya.

Pembangun rumah yang membangun rumahnya di atas pasir sudah selesai membangun rumahnya duduk-duduk sambil minum kopi di bawah pohon. Dia sudah menyelesaikan rumahnya sejak lama, sementara yang satu lagi masih berkutat dengan urusan menggali batu, dengan kemajuan yang sedikit demi sedikit. Akan tetapi pembangun rumah yang bijak ini tidak sekadar membuat satu lubang kecil saja di batu itu. Ia menggali sampai sedalam-dalamnya. Dan pembangun bodoh yang sok pintar itu akan berkata, "Anda benar-benar memboroskan tenaga. Lihat! Aku begitu santai dan nyaman, tapi Anda malah mempersulit hidup Anda sendiri." Pepatah mengatakan bahwa yang tertawa terakhir adalah yang paling berbahagia. Dan sang pembangun rumah yang landasan rumahnya diatas pasir ini sudah tertawa duluan.

Setelah kedua rumah ini selesai. Perbedaan kedua rumah itu terletak pada dasarnya. Dilihat dari luar mungkin tampak sama baik dan indah, namun berbeda dalam hal kekuatan dan kualitasnya. Ini hanya bisa dilihat jika diselidiki dengan membongkar lantainya, atau setelah rumah itu roboh. Ketika badai datang, angin bertiup dan banjir melanda rumah yg didirikan diatas pasir tadi, maka rubuhlah rumahnya tersapu dan hebatlah kerusakannya. Orang yang membangun rumahnya di atas pasir hanyut terbawa air sambil berteriak-teriak, "Tolong, tolong!" Saat itu, ia mungkin akan dihempaskan ke batu atau hanyut sampai ke laut. Akan tetapi orang yang membangun di atas batu karang yang teguh tetap selamat; tidak terjadi sesuatu apapun padanya karena ia membangun di atas dasar atau landasan (fondasi) yang tangguh dan kokoh.

Pembangun rumah yang bijaksana memikirkan tujuan jangka panjang. Dia memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu akan datang hujan, angin dan banjir, yang dapat merobohkan rumah jika rumah tidak kokoh. Maka ia harus membangun rumah di atas “batu karang yang teguh” supaya rumah itu kokoh. Meskipun memerlukan waktu yang lama, tetap akan ditempuhnya karena ia mau memakai rumah itu untuk jangka waktu yang lama. Apa yang telah dikorbankannya tidak akan sia-sia.

Dengan perpektif ini, jelas akan menggambarkan kehidupan seorang akuntan dalam menjalankan profesinya mengingat profesi akuntan saat ini yang mendapat sorotan yang cukup tajam dari publik, sebagai implikasi dari beberapa pelanggaran etika yang dilakukan oleh profesi akuntan sebagaimana tercermin pada skandal-skandal keuangan yang menguakkan tabir gelap sisi dari Ghost Corporate Governance. Pembangun yang bijaksana direfleksikan sebagai seorang akuntan dalam menjalankan profesi dan tanggungjawabnya. Kemudian “Batu karang yang teguh” yang direfeksikan sebagai ketangguhan serta kekokohan iman seorang akuntan yang bersandar pada konsepsi “Keuhanan” untuk tidak goyah (kuat) selayaknya sebagai fondasi/landasan. Sehingga “rumah” yang direfleksikan sikap mental seorang akuntan dalam mempertahankan dan menjaga independensi, integritas pribadi dan objektivitas yang dibangun diatas batu karang yang teguh tentunya tidak akan bergeser dari fondasinya meskipun badai datang, angin bertiup dan banjir melanda iman (rumah) seorang akuntan dalam mempertahankan dan menjaga sikap mental indepensi, integritas dan objektifitasnya. Dasar yang kuat tentu akan membangun kehidupan (tanggungjawab profesi akuntan) yang kuat, tidak akan mudah goyah imannya, dan siap setiap saat menghadapi berbagai persoalan yang berat. Hasilnya adalah keselamatan. Oleh karena itu cita-cita bangsa, yaitu cita-cita Pancasila untuk mewujudkan pribadi akuntan sebagai salah satu amanat rakyat/pubik yang berdiri tangguh dan kokoh diatas fondasi batu karang yang teguh merupakan perwujudan akan tercapainya transparansi publik dan akuntabilitas sebagai upaya pencapaian Good Governance yang beretika, beradab, bijak, jujur, adil, dan bermartabat.


Tidak ada komentar :

Posting Komentar