Kamis, 14 Juli 2011

Akuntan Spiritualis: Sebuah Refleksi dari Sila Ke-Tuhanan yang Maha Esa

Dari segi nilai yang terkandung dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dapat disebutkan bahwa sila pertama ini merupakan dasar kerohanian dan dasar bermasyarakat dalam kehidupan bernegara. Berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara dalam segala aspek wajib memperhatikan dan menghormati petunjuk-petunjuk Tuhan Yang maha Esa, dan tidak dibenarkan menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah digariskan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kemudian untuk menyelenggarakan segala yang baik bagi masyarakat dan pemerintahan negara. Pada hakekatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagian rakyat dan keselamatan masyarakat.

Ketika ada suatu paradigma yang mengatakan bahwa “urusan Tuhan, ya urusan Tuhan, dan urusan dunia, ya urusan dunia, jangan dicampuradukan.” Dalam hal ini penulis ingin mengatakan bahwa, paradigma yang demikian merupakan suatu pandangan yang sekuler dan perlu diingat bahwa negara Indonesia bukan negara sekuler, tetapi negara yang berasaskan “Pancasila” yang dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara dalam segala aspeknya wajib memperhatikan dan menghormati petunjuk-petunjuk Tuhan Yang maha Esa, dan tidak dibenarkan menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah digariskan. Negara kita memang bukan negara agama tapi jauh lebih dari pada itu karena negara kita sesuai UUD 1945 adalah negara yang lahir berdasarkan rahmat Tuhan yang Maha Esa dan berdasar pada Ketuhaanan Yang Maha Esa. “Bukan saja bangsa Indonesia yang Bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan” (Soekarno, 1945).

Menurut saya bahwa pijakan pada Idiologi Pancasila dan pijakan pada Idiologi sekuler merupakan dua hal yang berseberangan, bukan saling mendukung. Keduanya seperti air dengan minyak. Mulawaran (2008) menyatakan bahwa sekularisasi berarti memisahkan kepentingan dunia dari seluruh kepentingan religius. Oleh karena itu, nilai-nilai yang terkandung dalam Idiologi Pancasila jauh lebih hebat dari pada idiologi-idiologi yang ada di muka bumi ini selama ada elaborasi terhadap kedalaman kandungan makna dari Pancasila itu sendiri, karena semakin dalam cara kita memahami sesuatu (Pancasila) maka semakin mutu objektifitas Pancasila itu tampak semakin mencorong (kelihatan) dan Idiologi Pancasila justru hanya ada satu, yaitu di Indonesia. Idiologi berdasarkan pancasila adalah Idiologi yang landasan filosofisnya dibangun tidak hanya dalam konsepsi hubungan manusia dengan manusia, tetapi juga dalam konsepsi hubungan antara manusia dengan Tuhannya (Sang Pencipta), dimana segala aktifitas apapun akan melibatkan kehadiran “pihak ketiga” (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap pihak dalam menjalankan profesi, terutama bagi profesi akuntan. Karena profesi akuntan yang pancasilais adalah profesi yang dijalankan secara spiritual dan tidak semata-mata orientasi dunia tetapi memiliki visi akhirat yang jelas.
Berbanding terbalik dengan sekulerisme yang ada, yaitu hanya bagaimana supaya kekayaan dan keuntungan yang diperolehnya lebih besar dan tidak perlu dipertanyakan apakah dalam proses mendapatkannya dilakukan dengan halal atau haram seperti menurut kriteria agama. Oleh karena itu kita tidak heran jika sering disebutkan bahwa akuntansi sebagai bagian dari alat membantu mendapatkan harta dan keuntungan material adalah bebas nilai dalam arti tidak mengenal baik dan buruk. Bahkan menurut Friedman (1979) sepanjang suatu entitas bisnis mampu memberikan keuntungan dengan cara yang ditempuhnya maka dapat dikatakan lembaga itu telah memenuhi tanggungjawab sosialnya dan tidak perlu dinilai apakah entitas itu menerapkan nilai etika atau tidak.

Oleh karena itu jelas bahwa bagi bangsa Indonesia, etika profesi akuntan yang dirumuskan ke dalam Kode Etik Akuntan harus mengacu pada konsep “Ketuhanan” sebagaimana termuat dalam nilai pancasila yang pertama dan utama, bukan lepas seperti halnya faham sekuler. Etika yang diperkuat oleh keyakinan kepada agama dan Tuhan, diharapkan agar tingkat moralitas seorang manusia (dalam hal ini seorang akuntan) akan semakin tinggi dan berlipat ganda.

Di dalam etika profesi akuntan yang pancasilais tentu akan menghargai adanya cinta kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, keadilan, kejujuran, kebersamaan dan penguasaan diri yang kesemuanya itu ditanamkan secara mendalam sebagai wujud konsep kekuatan Spiritualitas (Strenght of Spirituaity) bagi seluruh aspek di bumi (termasuk aspek dunia profesi akuntan) dan dengan hal itu maka kecemaran, ketamakan, hawa nafsu, penyembahan berhala (uang), perseturuan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri akan terhindarkan. Yang utama yang harus kita tekankan bahwa siapapun yang berprofesi (dalam hal ini profesi akuntan), dia tetap milik Tuhan, hamba Tuhan, dan saksi Tuhan yang hendaknya memperdalam dan memperindah (depth and beauty) landasan berprofesi yang berada di atas etika dan moral standar yakni melalui unsur spiritualitas yang bersumber pada tata nilai keimanan yang disebut keyakinan (belief).

Mengembalikan akuntan pada fitrahnya adalah pilihan yang tepat saat ini. TUHAN adalah jembatan utamanya, yang siap menjembatani setiap manusia dalam segala aspeknya untuk kembali ke fitrahnya. TUHAN yang akan memandu manusia untuk memperbaiki segala kekacauan yang telah terjadi di bumi yang kemudian akan mewujudkan keseimbangan dunia dalam segala aspek dalam pengembangan suatu tujuan. TUHAN sebagai pribadi yang menjamin bahwa manusia yang bertindak baik demi kewajiban etika dan moral akan memperoleh kebahagiaan sempurna. Jika TUHAN ditolak eksistensinya, maka kesemuanya tidak memiliki arti apa-apa.

Spiritualitas terkandung jelas di dalam Pancasila dan pilar Spiritual merupakan “angin segar” serta “harapan baru” yang tidak terlepas dari amanat untuk pelaksanaan profesi akuntan yang baik dan beretika secara utuh. Artinya pada satu sisi bahwa pilar spiritualitas bisa kita maknai sebagai “extension of the hand GOD” atau perpanjangan tangan Tuhan di dunia” yaitu sebagai perpanjangan amanat Tuhan terhadap wakil Tuhan (profesi akuntan) di dunia untuk mewujudkan kehendak, maksud dan tujuan Tuhan di dunia yaitu menjadikan seluruh jemaat (seluruh manusia ciptaan-Nya) makmur dan sejahtera.

Fondasi Spiritual bukan hanya menyentuh aspek organisasi dan institusi tapi mencakup pribadi (human). Fondasinya bukan hanya sekedar Values, Ethics dan Principles (VEP) dalam bentuk budaya dan sistim organisasi, tapi Belief (Keyakinan), Morality (Moralitas) dan Iman (Faith) sehingga melui BMF ini tentu akan menciptakan pribadi atau manusia-manusia bahkan akuntan-akuntan selaku 'the man behind the gun'.

Untuk mewujudkan profesi akuntan yang bernilai, beretika, berprinsip, berkeyakinan, bermoral dan beriman secara utuh dalam pencapaian kriteria dasar akan visi akhirat yang jelas, maka kuncinya adalah sebuah formula falsafah dasar spiritual (Paulus Bambang) yakni:

Spiritual Value(S)=Man (M) x Creator (C) x Creation (C)

Spiritual Values tercapai bila setiap anggota dalam jajaran KAP (Man = Akuntan) melakukan usahanya dengan fokus pada Penciptanya (Creator =Tuhan), mengakui Tuhan adalah sebagai shareholder sekaligus sebagai soulholders, mereka adalah pengelola, dan melakukan kontribusi yang memberkati (Blessing) pada semua mahluk ciptaan (Creation = sesama manusia dalam hal ini masyarakat publik) sehingga keduanya (Creator dan Creation) bahagia. Ya...“bahagia”, bukankah mewujudkan bangsa yang bahagia adalah cita-cita dari pancasila?

Tuhan tidak menghendaki sebuah profesi yang gagal. Hendaknya melalui pilar spiritualitas, maka akan tercipta pula akuntan-akuntan yang pancasilais sebagaimana yang diamanatkan oleh bangsa kita. Melalui pilar spiritualitas ini maka pijakan dunia profesi akuntan di bumi akan melibatkan sekaligus menomor satukan kehadiran Tuhan dalam Kode Etik Profesi Akuntan Publik sebagai kitab suci/pedoman bagi para akuntan, sehingga para profesi akuntan diharapkan dapat menjadi lilin-lilin kecil di tengah belantara gelapnya keraskusan dan ketamankan yang berimplikasi terhadap ketidakseimbangan manusia itu sendiri , yang menjadi penerang bagi kesejahteraan bersama menuju era terang benderang, menuju cita-cita bangsa dalam mewujudkan pancasila, menuju harapan bangsa dari 'Ghost Governance', menjadi "Good Governance', lalu meningkat lagi menjadi 'Good Company' dan akhirnya berkulminasi dalam suatu kondisi yang disebut 'Good Citizen'.


Tidak ada komentar :

Posting Komentar