Minggu, 08 Januari 2012

Kekuatan Spiritualitas Bagi Dunia Bisnis Sebagai “Extension of the Hand God” (Bagian I)

(Pendahuluan)

Sejak surga dan bumi diciptakan oleh Eksekutif Agung di Langit (Allah), dengan kasih yang sempurna, yang melahirkan dunia, cakrawala dan isinnya dalam wujud yang seimbang dan tiada bercacat. Dan kini, hadir pelaku-pelaku bisnis menjadi bagian dari dunia sebagai alasan pemenuhan kebutuhan segala mahkluk di bumi.

Tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan suatu organisasi bisnis sangat tergantung pada bagaimana orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut. Rendahnya komitmen dapat disebabkan oleh banyak hal, tetapi seringkali secara potensial terjadi karena orang-orang di dalam organisasi tidak tahu apa yang dapat diperolehnya dengan pekerjaannya itu selain hanya sekedar uang, orang menjadi tidak berbahagia dengan pekerjaannya, kemudian menjadi bosan, apatis, dan pada akhirnya menjadi tidak produktif. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di perusahaan menunjukkan hal yang serupa. Cacioppe dalam The Leadership & Organization Development Journal (dalam Kompas on-line, 2008) mengungkapkan bahwa Pertumbuhan ekonomi tidak membuahkan kebahagiaan karena terjadi konsumerisme. “Kita bekerja dan membayar sesuatu, bekerja lagi dan lebih banyak lagi yang kita bayar. Kita harus keluar dari lingkaran ini’. Kenyataan bahwa kita telah mengikuti suatu sistem keyakinan yang tidak lengkap dan dangkal, hasilnya membuat kita kehilangan makna dan merasa tidak sehat dalam hidup.

Perusahaan, tanpa disadari, telah merubah fungsinya dari sekedar ”mencetak-uang” (money-making) menjadi ”mengeruk-uang” (money-grubbing) dan pengerukan uang tidak baik untuk bisnis (Zohar & Marshall, 2005).

Begitupun dalam iman kristen melalui Alkitab mengungkapkan bahwa:

Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan (Alkitab, 1 Timotius 6:9)

Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka (Alkitab, 1 Timotius 6: 10)

Bahaya terbesar yang dihadapi umat manusia sekarang ini bukanlah semakin menipisnya lapisan ozon pada atmosfer bumi akibat pemanasan global , ataupun luapan lumpur Lapindo yang tiada kunjung berhenti, bukan pula meningkatnya angka kemiskinan akibat membubungnya harga BBM, tetapi bahaya besar itu adalah perubahan fitrah manusia. Unsur kemanusian di dalam dirinya sedang mengalami kehancuran sedemikian cepat, sehingga yang tercipta sekarang ini adalah sebuah ras yang non manusiawi. Dengan kata lain inilah mesin yang berbentuk manusia, yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan dan kehendak alam yang fitrah.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis dalam tulisan ini mencoba mengangkat suatu pemahaman bahwa pelaksanaan bisnis yang hendaknya menghadirkan keberadaan Tuhan sebagai bentuk penyatuan konsep spiritualitas dalam pengembangan suatu tujuan. Spiritualitas yang dimaksud adalah Allah yang mewakili konsep moral yang hendaknya dipakai sebagai pengangan. Allah sebagai pribadi yang menjamin bahwa manusia yang bertindak baik demi kewajiban moral akan memperoleh kebahagiaan sempurna. Jika Allah ditolak eksistensinya, maka segalanya tidak memiliki arti. Karena ada tertulis bahwa:

“Tuhan adalah permulaan dari segalanya (Al-kitab, Amsal 1:7).”

“Tuhan tidak menjalankan bisnis yang gagal”. Kisah yang paling tua dalam AlKitab adalah kisah sukses! Hanya sedikit orang pada zaman sekarang yang mengetahui hal ini karena hanya sedikit orang yang memperlakukan Alkitab seperti dilakukan orang tua kita, sebagai buku petunjuk Tuhan untuk kehidupan sehari-hari. Alkitab memberi tahu kita bagaimana cara untuk hidup, bukan hanya bagaimana cara untuk mati, menunjukkan bagaimana cara makmur, bukan hanya bagaimana cara mengatasi kemiskinan”, menunjukkan bagaimana dengan kasih kita memahami bahwa keseimbangan alam serta isinya dan menjalin hubungan antar manusia sebagai sesama adalah apa yang dikehendaki Allah untuk selalu dijaga.

Intinya bahwa dalam kaitannya dengan paradigma spiritualitas tentang etika bisnis, maka landasan filosofis yang harus dibangun dalam konsep pelaksanaan bisnis adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya. Sukarsa (2010) mengatakan ada tiga hal penting dalam membangun jiwa spiritual dalam bisnis yaitu membuat pekerjaan lebih bermakna, menghormati kemampuan dan kreativitas karyawan, dan membuat dunia sebagai tempat yang lebih nyaman.

Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap entitas yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran “pihak ketiga” (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap pihak dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis secara spiritual tidak semata-mata orientasi dunia tetapi memiliki visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi.

Ingin diberkati adalah keinginan yang wajar, ingin menjadi berkat bagi orang lain adalah keingginan yang mulia. Menurut Peter Straub, kadang-kadang…. Apa yang harus engkau kerjakan adalah kembali ke awal dan melihat segalanya dalam sebuah cara pandang yang baru (Jim Collin, 2001). Jadi ketika apa yang kita pandang dirasa “sesak” karena adanya ketidakseimbangan dalam hidup sebagai hasil dari ketamakan dan kerakusan manusia yang cenderung mementingkan diri sendiri tanpa mepertanggungjawabkan apa yang dilakukan maka dapat dipastikan serta perlunya ruang lain yang memberikan kekuatan baru untuk memperbaiki apa yang telah dirusak. Yaitu “Strenght of Spirituality .”



Tidak ada komentar :

Posting Komentar