Minggu, 08 Januari 2012

Kekuatan Spiritualitas Bagi Dunia Bisnis Sebagai “Extension of the Hand God” (Bagian VIII)

(Catatan Akhir)

Ibarat dua sisi mata uang, di satu sisi ada kepentingan menciptakan keunggulan kompetitif untuk mengumpulkan laba, namun di sisi yang lain adalah tuntutan untuk berada pada koridor bisnis yang spiritual. Sama-sama memiliki probabiltas 50:50. Persoalannya adalah berada ditangan organisasi bisnis, bahwa ia akan membijaki untuk memilih salah satu atau keduanya? Memilih salah satu sisi, berarti akan meniadakan sisi yang lain. Itulah sebabnya dalam artikel ini, lebih ditekankan bahwa hendaknya organisasi bisnis untuk menyelaraskan antara keduanya (keseimbangan fokus bisnis antara keuntungan dan spiritual).

Menjadi suatu akar persoalan ketika para pelaku bisnis yang berpegang pada pandangan bahwa “bagaimana mungkin ada pebisnis yang bersih, bukankah setiap orang yang masuk ke wilayah bisnis, berarti ia harus siap bertangan kotor.” Atas nama kebenaran, dan sebagai orang yang percaya atas keberadaan Tuhan yang nyata dalam kehidupan manusia, saya ingin mengatakan bahwa paradigma yang demikian adalah salah.

Bencana air bah di Wasior, meletusnya gunung Merapi di Jogjakarta dan bencana gelombang Tsunami di Mentawai, Sumatera Barat, telah membuat Indonesia berduka. Eksploitasi alam yang berlebihan sebagai salah satu faktor terjadinya bencana alam, dan kerakusan serta ketamakan umat manusia telah direspon oleh bumi secara cepat dan tak terduga. Hutan yang dibabat habis, Banjir dimana-mana, polusi yang akhirnya berdampak pada pengikisan lapisan ozon, masyarakat yang dirugikan akibat limbah, kanker akibat radiasi nuklir, PHK dimana-mana, kemiskinan yang kesemuanya itu adalah wujud kekacauan dunia akibat keserakahan luar biasa yang pada intinya dikarenakan oleh orientasi pada uang yang merubah fitrah manusia. Perusahaan, tanpa disadari, telah merubah fungsinya dari sekedar ”mencetak-uang” (money-making) menjadi ”mengeruk-uang” (money-grubbing) dan pengerukan uang tidak baik untuk bisnis (Zohar & Marshall, 2005).

Mengembalikan manusia kepada fitrahnya adalah pilihan yang tepat saat ini. Tuhan Allah adalah jembatan utamanya, yang siap menjembatani manusia untuk kembali ke fitrahnya. “Strenght of Spirituality (kekuatan Spiritualitas) adalah perpanjangan tangan Tuhan (Extension of the Hand God) sebagai bentuk jelmaan atau wujud kehendak Allah yang akan memandu manusia untuk memperbaiki segala kekacauan yang telah terjadi di bumi yang kemudian akan mewujudkan keseimbangan dunia dalam segala aspek dalam pengembangan suatu tujuan. Allah sebagai pribadi yang menjamin bahwa manusia yang bertindak baik demi kewajiban etika dan moral akan memperoleh kebahagiaan sempurna. Jika Allah ditolak eksistensinya, maka kesemuanya tidak memiliki arti.

Sekali lagi, bahwa:

......Mencintai Alam dan mencintai sesama manusia, berarti mencintai Tuhan

Di dalam bisnis kekristenan harus ada cinta kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri dan dengan hal itu maka kecemaran, ketamakan, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseturuan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri akan terhindarkan. Yang utama yang harus kita tekankan bahwa siapapun yang berbisnis, dia tetap milik Tuhan, hamba Tuhan, saksi Tuhan dan murid Kristus. Murid Kristus mempunyai mental Kristus yang hendaknya memperdalam dan memperindah (depth and beauty) landasan berbisnis yang berada di atas etika dan moral standar yakni melalui unsur spiritualitas yang bersumber pada tata nilai keimanan yang disebut keyakinan (belief).

Akhir kata, “menanam benih yang baik, tentu akan menuai hasil yang baik pula. Apapun yang sifatnya demi kebaikan berdasarkan “the power of spirituality” adalah apa yang diwajibkan Tuhan sebagai jalan yang benar. Tuhan tidak menghendaki bisnis yang gagal dan keberadaan Tuhan dalam dunia bisnis adalah mutlak, karena bisnis yang spiritual tahu bagaimana menciptakan kepemimpinan sebagaimana mestinya, tahu bagaimana memperlakukan alam dan lingkungan tempat mereka berpijak, tahu bagaimana memperlakukan para karyawan sebagai sesama manusia, tahu bagaimana memperlakukan para pesaing yang bukan sebagai musuh, karena bisnis yang spiritual penuh dengan “kasih”. Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap entitas yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran “pihak ketiga” (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Hal ini karena Bisnis secara spiritual tidak semata-mata orientasi dunia tetapi memiliki visi akhirat yang jelas.



Tidak ada komentar :

Posting Komentar