Senin, 09 Januari 2012

Menghidupkan “Akuntan Pancasilais” (“Strength Of Ideology Pancasila” Bagian IV)

Pancasila bukan sebatas tentang perekat atau pemersatu bangsa. Pancasila mengandung makna yang mengarahkan dan menyadarkan rakyatnya tentang pentingnya merendahkan diri dihadapan “Sang Penciptanya”, kejujuran demi kebenaran, serta memahami bahwa penguasaan diri, solidaritas dan keadilan yang utuh akan menjadi tiket eksekutif dalam mewujudkan visi akhirat yang jelas. Ini tentu sejalan dengan tugas seorang akuntan publik yang transendental-sosial (Mulawarman, 2008). Beliau mengungkapkan bahwa tugas akuntan publik bukan hanya sekedar memahami laporan keuangan perusahaan sebagai accounting numbers saja, atau bahkan melakukan window dressing (manipulasi data), tetapi tugas akuntan publik dengan menelusuri Vestigia Dei lewat kacamata intuitif dan pengalaman batin serta praktek yang memiliki value kebenaran, kerendahan hati, kritis dan kejujuran, maka akuntan publik dapat memberikan saran cerdasnya terhadap situasi dan proses manajemen perusahaan dalam bentuk atestasi.

Yang terpenting adalah perlu ada elaborasi terhadap kedalaman kandungan makna dari Pancasila itu sendiri, karena semakin dalam cara kita memahami sesuatu (Pancasila) maka semakin mutu objektifitas Pancasila itu tampak semakin mencorong (kelihatan). Bung Karno pernah mengatakan bahwa “kebangsaan kita adalah kebangsaan yang punya wawasan internasionalisme, sehingga tentu kita tidak perlu khawatir karena kita akan mampu mengantisipasi booming globalisasi selama ada persatuan”. Lebih lanjut, “demokrasi kita adalah demokrasi yang berkeadilan (sosio-demokrasi), artinya jika demokrasi dijalankan dengan benar tentu akan punya dampak bagi keadilan sosial”. Maka ketika kita mengatakan bahwa kita setia pada fundamen-fundamen ini, mestinya kita bangsa Indonesia tidak tergagap-gagap seperti sekarang ini.

Pancasila bukanlah ciptaan Bung Karno, bukan pula Wahyu yang diturunkan dari langit. Bung Karno sendiri mengatakan, “pencipta Pancasila adalah Tuhan, bukan aku. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya bangsa Indonesia, setelah terpendam 350 tahun lamanya. Aku bukan pembuat Pancasila; aku bukan pencipta Pancasila. Aku sekedar mempopulerkan adanya beberapa perasaan di dalam kalangan rakyat yang kunamakan ‘Pancasila’. Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan aku melihat di dalam kalbunya bangsa Indonesia itu ada hidup lima perasaan”. Lima perasaan” atau lima prinsip dalam Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang adalah dasar yang menjadi pengikat begitu banyak gagasan atau pemikiran dalam menyusun Indonesia merdeka. Ini menunjukkan bahwa Bung Karno sendiri meyakini negara Indonesia adalah negara yang berdiri atas kehendak Tuhan, dan jika Tuhan ditolak eksisensinya, maka semuanya tidak memiliki arti.

Akuntan adalah salah satu produk amanat rakyat. Apa yang penting adalah, mengutip istilah Bung Karno, mengambil apinya Pancasila, bukan abunya. Kalau Pancasila menjadi dasar negara, maka akuntan harus menjadi jiwa dan pedoman dari semua kebijakan yang berakar dari nilai Pancasila dalam menjalankan profesinya. Oleh karenanya, tidak dibenarkan bila akuntan mengabaikan tugas dan fungsi utamanya yang mengemban amanat transparansi dan akuntabilitas dalam ranah good governance sebagai salah satu pilar utama dalam mewujudkan “nilai pancasila” yaitu menciptakan bangsa yang madani. Dan lebih penting lagi, akuntan juga harus menunjukkan teladan sebagai akuntan yang pancasilais di hadapan rakyat. Tidak dibenarkan seorang akuntan mengumpulkan harta atau memperkaya diri sendiri, apalagi jika diperoleh dengan jalan yang tidak layak. Seorang akuntan pancasilais harus mendengar, menyerap, dan menjalankan apa yang dikehendaki rakyat, bukan mengabaikannya.

Ketika keraguan rakyat yang saat ini semakin besar terhadap pemerintah baik pada jajaran eksekutif maupun legislatif, maka akuntan publik kini menjadi salah satunya harapan bagi rakyat untuk memberikan transparansi publik demi kebenaran kepada rakyat sebagai stakeholder. Oleh karena itu, tuntutan untuk beretika dalam mewujudkan profesi akuntan yang pancasilais kian dirindukan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Nilai dasar Pancasila adalah sumber pembentukan norma etik (norma moral) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Pancasila berfungsi sebagai bimbingan moral dan etika (Miswandi, 2004). Oleh karena itu, nilai-nilai Pancasila adalah perwujudan nilai etika (moral).

Etika atau norma moral adalah aturan mengenai sikap perilaku dan tindakan manusia sebagai manusia yang hidup bermasyarakat (Satyanugraha, 2003). Bisa juga sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan yang baik dari yang buruk (Beekum, 1997). Lebih lanjut, Harahap (2010) menyatakan bahwa situasi profesi baik di tingkat internasional dan nasional menunjukkan betapa pentingnya etika dalam profesi akuntan yang merupakan profesi kepercayaan masyarakat. Tanpa ruh etika dalam diri akuntan, maka akan menimbulkan bencana besar bagi ekonomi dan kemanuasiaan. Sehingga perlu disadari bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, kita tidak hidup sendiri, maka harus ada aturan yang dilaksanakan setiap orang agar kehidupan bermasyarakat berjalan dengan aman, nikmat dan harmonis (harahap, 2010). Tanpa aturan ini maka kehidupan akan bisa seperti neraka, atau seperti di rimba yang kuat akan menang yang lemah akan tertindas. Keadaan ini memang tidak diinginkan semua pihak. Jika profesi akuntan ingin survive maka dia harus meningkatkan aspek etikanya dan penegakan kode etik profesi baik dalam kurikulum mapupun dalam menjalankan profesinya. Dan bagi negara Indonesia, kerangka etika profesi telah dikodifikasikan ke dalam kode etik IAI.

Di Indonesia, seorang akuntan dalam menjalankan tugasnya, tidak hanya bekerja sebatas ketundukan mereka terhadap Undang-Undang serta kode etik akuntan yang ada, tetapi juga memiliki tanggung jawab atas idiologi bangsa dalam mewujudkan lima prinsip dalam Pancasila yang merupakan cita-cita dari para founding father bangsa Indonesia, karena di dalam lima prinsip tersebut terdapat “lima perasaan” yang mengalir dalam kalbu bangsa Indonesia. Ini berarti, jika Pancasila menjadi dasar negara, maka akuntan harus menjadi jiwa dan pedoman dari semua kebijakan yang berakar dari nilai Pancasila dalam menjalankan profesinya. Ketika profesi akuntan mampu mewujudkan nilai-nilai pancasila dalam tugas profesinya, sehingga akuntan-akuntan ini akan disebut sebagai “akuntan pancasilais” yaitu akuntan yang memiliki jiwa yang tangguh (kokoh) selayaknya “batu karang yang teguh” dalam mempertahankan dan menjaga sikap independen, integritas dan objektivitas, serta tanggungjawab etika yang bersandar pada nilai spiritualitas bangsa. Akuntan yang pancasilais adalah akuntan yang mengemban “lima perasaan” dari bangsa Indonesia yaitu lima perasaan yang menuntun para akuntan-akuntan kita untuk menjadi akuntan yang berketuhanan, akuntan yang berperikemanusiaan dan beradab, akuntan berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan serta akuntan yang berkeadilan di dalam ranah persatuan bangsa Indonesia.

Menurut Mathews & Perrera (1991; 281-282, dalam Ludigdo, 2005), keuntungan dari adanya kode etik adalah:

  1. Para profesional akan lebih sadar tentang aspek moral dari pekerjaannya.
  2. Kode etik berfungsi sebagai acuan yang dapat diakses secara lebih mudah.
  3. Ide-ide abstrak dari kode etik akan ditranslasikan ke dalam istilah yang konkret dan dapat diaplikasikan ke segala situasi.
  4. Anggota sebagai suatu keseluruhan, akan bertindak dalam cara yang lebih standar pada garis profesi.
  5. Menjadi suatu standar pengetahuan untuk menilai perilaku anggota dan kebijakan profesi.
  6. Anggota akan menjadi dapat lebih baik menilai kinerja dirinya sendiri.
  7. Profesi dapat membuat anggotanya dan juga publik sadar sepenuhnya atas kebijakan-kebijakan etisnya.
  8. Anggota dapat menjustifikasi perilakunya jika dikritik. Hal ini tentu menjadi penting untuk menghindari ketidakpastian penilaian di masyarakat atas perilaku profesional anggota.

Lebih lanjut Ludigdo (2005) yaitu salah satu staf pengajar di Universitas Brawijaya Malang yang juga beprofesi sebagai seorang akuntan, menyatakan bahwa dalam mengembangkan etika di KAP, sebagai upaya pendorong perwujudan good governance, maka perlu dilakukan penguatan personalitas anggota KAP. Penguatan personalitas dilakukan tidak hanya dengan memperhatikan dan mengembangkan potensi emosionalitas (EQ) tetapi juga spiritualitas (SQ) anggota KAP. Perhatian pada EQ akan dapat mengembangkan kecerdasan hati, seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan beradaptasi dan empati. Dan perhatian terhadap SQ membuat seseorang mempunyai pemahaman tentang siapa dirinya dan apa makna segala sesuatu bagi dirinya, dan bagaimana semua itu memberikan suatu tempat di dalam dunianya kepada orang lain dan makna-makna mereka. Jadi, dalam rangka mewujudkan profesi akuntan yang beretika, berahklak, beradab, dan bijak secara utuh, tidak hanya memperhatikan dan mengembangkan potensi secara emosionalitas (EQ) tetapi juga spiritualitas (SQ) anggota KAP.

Bangsa Indonesia, sejak semula telah dikenal sebagai bangsa yang religius, bangsa yang spiritualis, yaitu bangsa yang memiliki kepercayaan dan memahami hubungan antara kehidupan sosial dengan sang pencipta yaitu Tuhan yang Maha Esa, yang dinyatakan dalam sikap hidup yang didasarkan kepada ajaran-ajaran agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang penuh toleransi di antara pemeluk-pemeluknya, sebagaimana hal ini telah termuat didalam pancasila yang pertama dan utama. Maka setiap rakyat Indonesia harus mempercayai Tuhan yang Maha Esa, dimana pada dasarnya sila-sila dari Pancasila itu telah berakar pada jiwa bangsa Indonesia karena “Pancasila” berfungsi sebagai bimbingan moral dan etika, yang telah menjadi dasar dan memberikan warna terhadap semua segi kehidupan bangsa, sehingga menurut penulis bahwa, tidak ada masalah untuk menerima pancasila ketika akan dihadapkan pada segala aspek hidup termasuk bagi kaum profesional.

Akuntan mempresentasikan diri mereka sebagai kaum professional. Status dan pengaruh terhadap berbagai institusi akuntansi beserta manfaat ekonomis pun diperoleh oleh para akuntan dengan klaim bahwa akuntansi merupakan profesi dan akuntan itu professional. Dan pancasila telah memberikan banyak inspirasi. Profesi akuntan yang mengemban amanat Pancasila ini memiliki ruang yang sangat besar dalam mewujudkan sila-sila yang terkandung dalam pancasila. Akuntan berperan mengarahkan keberpihakan institusi yang tidak hanya terfokus pada pemilik modal atau pimpinan namun juga pada publik sehingga proses bisnisnya lebih transparan dan accountable bagi masyarakat umum. Hal ini tentu saja akan menghindarkan institusi dari perilaku yang tidak bertanggungjawab.

Pentingnya suatu nilai-nilai pancasila sebagai pijakan dasar dan idiologi bangsa yang tentunya sangat relevan di dalam implementasi etika profesi akuntan yang bersandar pada tataran spiritualitas, mengingat negara yang juga merupakan tempat bagi para profesi akuntan beserta fungsinya adalah alat dalam “tangan Tuhan” yang bertujuan untuk mensejahterakan manusia dan memelihara ciptaan Allah. Oleh karena itu akuntan dan negara harus bahu membahu dalam mengusahakan penegakan keadilan dan kesejahteraan rakyat, sehingga kehendak Tuhan Allah yang adalah “pencipta” yang mengisyaratkan suatu perwujudan akan keseimbangan hidup dapat tercapai di bumi, termasuk manciptakan akuntan-akuntan yang “pancasilais” yaitu akuntan yang berketuhanan, akuntan yang berperikemanusiaan dan beradab, akuntan berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan serta akuntan yang berkeadilan dalam ranah persatuan bangsa Indonesia.



Tidak ada komentar :

Posting Komentar