Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, kebijakan otonomi khusus (Otsus) Papua merupakan kebijakan yang sudah final. Dia mengaku tidak tahu apa lagi yang dipersoalkan dengan Otsus Papua. Terkait adanya tuntutan referendum, mantan gubernur Sumbar itu enggan menanggapi.
"Soal Otsus Papua, sudah selesai, sudah final. Tapi kalau minta referendum,
saya tak bisa komentar," ujar Gamawan Fauzi di kantornya, usai shalat Jumat (16/7).
Gamawan menjelaskan, UU Nomor 21 Tahun 2001 telah memberikan hak-hak yang bersifat khusus kepada Papua. Jika ada keinginan Otsus dievaluasi, maka yang harus menanggapi pertama kali adalah DPR. Dalih Gamawan, karena DPR merupakan wakil rakyat, yang memang punya tugas untuk mendengar dan menindaklanjuti aspirasi rakyat.
"Soal aspirasi itu, silakan tanyakan ke DPR sebagai wakil rakyat. Saya tak berani komentar," ujarnya. Hanya dia mengakui, tidak bisa memahami kenapa masih ada juga elemen masyarakat Papua yang mempersoalkan kebijakan Otsus tersebut. "Saya tak tahu apa sebenarnya yang dipersoalkan," ujarnya.
Jika dana Otsus dinilai belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua, mastinya masalah itu ditanyakan saja ke para elit lokal yang ada di Papua. "Tanya yang di sana," ujarnya. Menanggapi pertanyaan wartawan mengenai banyaknya dugaan kasus korupsi di Papua, Gamawan pun enggan memberikan komentar banyak. Dia hanya mengatakan, pengelolaan keuangan daerah sudah pasti diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap tahunnya. Hasil pemeriksaan BPK itu, lanjutnya, sudah pasti juga diserahkan ke DPRP.
Seperti diberitakan, pada 8 Juli 2010, sekitar 50-an massa yang tergabung dalam Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu (Fordem) menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri), Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Massa yang dipimpin Agus Kossay itu menuntut agar pemerintah mencabut kebijakan Otsus Papua yang didasari Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001. Alasannya, Otsus gagal meningkatkan kesejahteraan dan kemamuran rakyat Papua.
"Pak Menteri, kami mau kasih kembali itu Otsus Papua yang diberikan pemerintah pada tahun 2001. Kami atas nama rakyat Papua, atas nama tanah Papua, kami datang mau kembalikan Otonomi Khusus Papua," teriak aktivis yang berorasi dari atas mobil pick up, dalam aksi itu.
Dalam keterangan tertulisnya, Fordem menilai, Jakarta tidak punya niat politik yang baik dalam melaksanakan UU Otsus Papua. Antara lain disebutkan, lahirnya Provinsi Papua Barat dinilai tak sesuai dengan UU 21/2001. Selain itu, ketentuan di UU Otsus mengenai pengangkatan anggota DPRD sebagai satu kursi yang berasal dari orang asli Papua, juga tidak dilaksanakan hingga sekarang.
Disebutkan, bahwa Pemilukada untuk memilih bupati/walikota di Tanah Papua juga mengabaikan hak-hak orang asli Papua. "Segera lakukan referendum di Tanah papua bagi penyelesain masalah status politik Papua,” katanya.
Sementara itu, terkait munculnya aspirasi referendum itu, menurut salah satu tokoh pencetus Otsus Papua DR. H.M. A. Musa’ad, M.Si mengatakan, bahwa hal itu disuarakan oleh rakyat sendiri, sehingga sah-sah saja, karena hal itu bagian dari ekspresi rasa ketidakpuasan.
Namun yang menjadi persoalan, katanya, adalah ketika hal tersebut disuarakan oleh pemerintah dalam hal ini lembaga-lembaga resmi pemerintah, misalnya MRP dan DPRP, maka itu yang secara etika politik tidak etis, karena mereka mempunyai jalur berbeda dan bukan jalur demonstrasi. “Seharusnya mereka secara santun menyampaikan hal itu, karena pemerintah adalah satu dan tidak ada istilah lempar batu sembunyi tangan, sehingga semua mempunyai tanggungjawab. Dengan demikian kalaupun ada kesalahan dan kekurangan maka semuanya bersalah, baik itu pusat, provinsi maupun DPRP dan MRP,” ujarnya saat ditemui Cenderawasih Pos usai mengikuti pelantikan Rektor Universitas Yapis Papua, Jumat (16/7) kemarin.
Soal Otsus dikatakan gagal, lanjut Musa’ad, persoalannnya adalah harus ada kejelasan atau indikator-indikator kegagalannya. “Memang banyak sekali hal-hal di dalam Otsus itu belum berjalan baik, sehingga Otsus itu bukan gagal tapi belum berjalan,” tukasnya.
Pihaknya menegaskan, Otsus itu sebenarnya belum gagal, tapi belum dilaksanakan. Misalnya saja kalau seandainya sudah dibuatkan 17 Perdasi dan 11 Perdasus, kemudian sudah alokasikan 30 persen dana untuk pendidikan, 15 persen untuk kesehatan dan sudah mempunyai kewenangan khusus sudah diwujudnyatakan, namun belum dilaksanakan.
Diungkapkan, ketika aturannya belum dilaksanakan kemudian ada dinamika perkembangan sehingga akhirnya ranah-ranah itu menjadi tidak efektif. Dengan demikian, menurutnya, saat ini belum sampai kepada tahapan harus pengembalian Otsus. “Yang paling utama adalah, sebelum sampai kepada pengembalian Otsus, maka harus masuk pada tahapan evaluasi Otsus, kemudian setelah itu melakukan perbaikan, sehingga kalau ternyata perbaikan yang dilakukan itu tidak baik lagi, maka selanjutnya perlu diganti,” tuturnya.
”Itu yang saya katakan bahwa belum sampai kepada tatanan referendum, sebab kita belum melakukan rekonstruksi terhadap UU Otsus. Sehingga langkah awal adalah kita harus rekonstruksi lebih dulu, kemudian diperbaiki, karena kenapa Aceh bisa, sementara Otsus Papua belum ada perbaikan dalam 10 tahun ini,” tandasnya.
Terkait Musyawarah Besar yang digelar MRP, Musa’ad yang juga Direktur Democratic Center Uncen Jayapura mengatakan, pihaknya sangat menyanyangkan hal itu, karena ketika MRP melakukan musyawarah besar sebenarnya di dalam tata tertib MRP dan di dalam UU Otsus, bahkan Peraturan Pemerintah tentang MRP, tidak ada nomenklatur tentang musyawarah apalagi musyawarah besar.
”MRP tidak mempunyai aturan untuk mengatakan dan melakukan sebuah musyawarah, apalagi diistilahkan dengan musyawarah besar yang kemudian mencetuskan 11 rekomendasi dan disahkan oleh MRP,”ujarnya.
Dikatakan, hal itu sebenarnya tidak ada di dalam aturan MRP, bahkan tata tertib MRP sendiri, namun yang ada adalah rapat paripurn, kemudian rapat pokja serta rapat dengar pendapat (RDP). “Oleh karena itu kalau sudah sampai musyawarah seperti itu maka sudah keluar dari koridor MRP. Jadi kesalahan yang dibuat MRP adalah membuat kegiatan dalam tanda kutip resmi namun sebenarnya tidak ada dalam aturan. Untuk itu sebenarnya mereka melanggar sumpah janjinya dan melanggar kewajiban, bahkan sekarang MRP hanya mau mengelak bahwa MRP hanya menyampaikan aspirasi. Untuk itu persoalannya kembali lagi adalah siapa yang mengundang masyarakat,” tambahnya.
Lebih jauh diungkapkan, kalau masyarakat sendiri yang datang menyampaikan aspirasi referendum mungkin bisa diterima, namun yang timbul pertanyaan adalah ada apa dibalik MRP? “Artinya apakah karena buntut dari penolakan SK MRP atau karena sudah di penghujung masa jabatan, sehingga muncul aspirasi Otsus gagal. Oleh karena itu seharusnya MRP diminta memberikan klarifikasi dan jangan bersembunyi dibalik rakyat kemudian menyerahkan kepada DPRP,” pungkasnya.
Sumber: cenderawasihpos.com
Tidak ada komentar :
Posting Komentar